JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan ada dugaan keterlibatan aparat dalam kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua.
Dugaan tersebut merupakan salah satu hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah. TGPF telah melakukan penyelidikan sejak 7 hingga 12 Oktober 2020 atau sekitar dua pekan pasca-insiden penembakan.
"Mengenai terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020, informasi dan fakta-fakta yang didapatkan tim di lapangan menunjukkan dugaan keterlibatan oknum aparat. Meskipun ada juga kemungkinan dilakukan oleh pihak ketiga," ujar Mahfud dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (21/10/2020).
Mahfud menegaskan, temuan fakta yang diperoleh TGPF didukung data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia memastikan pemerintah akan menyelesaikan kasus tersebut sesuai dengan hukum pidana maupun hukum administrasi negara.
Selain itu, Mahfud juga meminta Polri dan Kejaksaan menuntaskan kasus penembakan tersebut dengan tidak pandang bulu. Kemudian ia meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawal proses penegakan hukum.
"Sejauh menyangkut tindak pidana berupa kekerasan dan pembunuhan, pemerintah meminta Polri dan Kejaksaan untuk menyelesaikannya sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu," kata Mahfud.
Selain temuan fakta pembunuhan Pendeta Yeremia, hasil investigasi TGPF juga menunjukkan dugaan keterlibatan kelompok kriminal bersenjata (KKB) atas pembunuhan seorang warga sipil bernama Badawi akibat dibacok dan penembakan yang menewaskan dua prajurit TNI.
Serka Sahlan yang tewas ditembak pada Kamis (17/9/2020) dan Pratu Dwi Akbar dan pada Sabtu (19/9/2020). Diketahui, Pratu Dwi Akbar tewas usai terlibat kontak tembak dengan KKB pada Sabtu (19/9/2020).
Terkait kasus Pendeta Yeremia, pihak TNI sebelumnya menuding anggota KKB sebagais pelaku penembakan.
Namun, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Sebby Sambon membantah dan menyebut Pendeta Yeremia tewas dibunuh aparat TNI.
Kabid Humas Polda Papua Kombes AM Kamal juga membantah tuduhan bahwa TNI menjadi pelaku penembakan terhadap Pendeta Yeremia. Kamal beralasan, tidak ada pos TNI di Hitadipa. Menurutnya, apa yang disampaikan Jubir TPNPB tidak berdasar dan hanya ingin memperkeruh suasana.
Belum temukan saksi mata
Selama penyelidikan, TGPF mengaku tak menemukan saksi mata pembunuhan Pendeta Yeremia.
"Sejauh ini belum ada saksi mata yang lihat langsung kejadian. Yang ada adalah pasca-kejadian ketika sang istri menunggu suami enggak pulang-pulang, akhirnya cek ke kandang babi ditemukan kondisi (jenazah Pendeta Yeremia) itu," ujar Ketua Tim Investigasi Lapangan TGPF Benny Mamoto, Rabu (21/10/2020).
Kendati demikian, Benny memastikan timnya tak lepas tangan begitu saja. Benny menuturkan, sebelum bertolak ke Jakarta pada Senin (12/10/2020), TGPF telah berkoordinasi dengan keluarga korban dan tokoh masyarakat setempat apabila menemukan informasi mengenai saksi kunci atas pembunuhan Pendeta Yeremia.
"Kita tidak tahu nanti perkembangan berikutnya, karena kita juga setelah membangun trust dengan keluarga dan tokoh-tokoh setempat mereka sepakat ingin beri info seandainya ada perkembangan," kata Benny.
Dalam penyelidikan itu, TGPF berhasil mengantongi keterangan 42 saksi, dari istri korban hingga TNI.
Temuan Amnesty International Indonesia
Sementara berdasarkan hasil temuan Amnesty International Indonesia yang dirilis sebelumnya, terduga pelaku merupakan anggota TNI yang bermarkas tak jauh dari rumah Yeremia. Temuan itu diperoleh dari keterangan seorang saksi.
“Dalam kronologis yang kami dapatkan, saksi menyebutkan bahwa penembakan ini diduga dilakukan oleh salah satu anggota TNI yang menempati pos sekolah tersebut,” kata peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya dalam konferensi pers virtual, Jumat (2/10/2020).
Dari gambar citra satelit yang didapatkan Amnesty, lokasi rumah Yeremia terlihat berseberangan dengan pos militer. Kemudian berdasarkan informasi yang dihimpun Amnesty, pos militer tersebut berlokasi di area Sekolah Satu Atap Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja Injili di Hitadipa.
Ari menuturkan, lokasi itu sudah ditempati selama sekitar sembilan bulan lalu. Menurutnya, saksi juga menyebutkan terduga pelaku telah cukup lama menempati pos militer tersebut.
“Sehingga menurut kami cukup masuk akal apabila saksi menyebutkan bahwa mengetahui orang yang melakukan penembakan terhadap pendeta,” tuturnya.
“Apalagi sebelum meninggal, pendeta juga sempat menceritakan kejadian yang dialami kepada para saksi sebelum akhirnya meninggal,” ujar Ari.
Informasi lain yang didapatkan Amnesty perihal pertemuan keluarga besar Sinode GKI Papua Hitadipa dan keluarga Yeremia. Ari mengatakan, pertemuan pada 24 September 2020 itu juga dihadiri Bupati, Wakapolda, dan Dandim.
Selain itu, Ari menambahkan, pihak keluarga juga telah diberikan uang duka oleh pihak bupati. Kendati demikian, Amnesty menegaskan, pelaku penembakan tetap harus diusut dan diadili di pengadilan secara terbuka.
“Pemberian uang duka atau apapun itu, tidak boleh menghentikan penyelidikan pidana terhadap kasus ini,” ucap Ari.
Tak berdiri sendiri
Sementara itu, temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan kasus pembunuhan Pendeta Yeremia diduga tak berdiri sendiri. Artinya, pembunuhan tersebut tak lepas dari rentatan peristiwa lain sebelum kasus kematian Pendeta Yeremia.
Temuan Komnas HAM ini berdasarkan penyelidikan secara independen.
"Terkait dengan peristiwan kematian pendeta Yeremia, Komnas HAM menemukan fakta bahwa peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri," kata Komisiner Komnas HAM Choirul Anam saat konferensi pers daring, Sabtu (17/10/2020), dilansir dari Antara,
Dari penyelidikannya, Komnas HAM mendapatkan fakta adanya permasalahan krusial di Intan Jaya yang terjadi dalam waktu berdekatan. Komnas HAM sedikitnya menemukan ada 18 kasus di Intan Jaya.
Anam menyebut pihaknya menemukan lubang peluru dengan berbagai ukuran yang berbeda di sekitar lokasi tembakan. Di samping itu, ada sejumlah bukti dan informasi dari keterangan yang diberikan saksi dan sejumlah pihak.
"Komnas HAM akan mengelola seluruh data yang ada untuk menyusun kesimpulan temuan Komnas HAM yang lebih solid. Langkah tersebut juga akan diuji dengan keterangan ahli," tutur dia.
Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua dan Papua Barat Frits Bernard Ramandey mengungkap ada kesamaan pola dan karakter yang terjadi pada peristiwa sebelumnya dengan kasus kematian pendeta Yeremia.
"Kalau kita lihat pola dan karakter kasus sama persis karena semua itu berujung pada kekerasan dan ada korban meninggal dunia baik di warga sipil maupun aparat TNI-Polri," katanya.
Penghukuman terhadap pelaku
Lembaga pengawas HAM Imparsial berharap adanya penghukuman terhadap pelaku penembakan Pendeta Yeremia. Hal itu penting dilakukan agar tidak terjadi impunitas.
"Hal yang terpenting dalam kasus Intan Jaya adalah adanya penghukuman pada pelaku yang melakukan kekerasan. Jangan sampai lagi terjadi impunitas di Papua," ujar Direktur Imparsial Al Araf kepada Kompas.com, Jumat (2/10/2020).
Araf menuturkan, beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Papua selama ini selalu berakhir dengan ketidakpastian hukum.
Oleh sebab itu, hasil dan tujuan investigasi TGPF perlu dilanjutkan dengan adanya proses hukum bagi pelaku.
Kemudian, Al Araf juga meminta pemerintah mengevaluasi pendekatan keamanan dalam meredam ketegangan di Papua.
"Pemerintah perlu melakukan desekuritisasi wilayah Papua dengan mengevaluasi pendekatan keamanan yang terjad di Papua," ungkap dia.
Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, ada 47 kasus pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) yang terjadi di Papua selama Februari 2018 hingga September 2020.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, banyak kasus yang diinvestigasi namun tidak diungkapkan lebih lanjut ke publik.
Usman merinci sebanyak tujuh kasus sedang diinvestigasi, 14 kasus diinvestigasi tanpa diungkap ke publik, sembilan kasus tidak diinvestigasi.
Kemudian, lima kasus diproses di internal kepolisian, dua kasus dibawa ke pengadilan, dan dua kasus lainnya dibawa ke pengadilan militer. Sementara, delapan kasus lainnya masih diverifikasi oleh institusi penegak hukum.
"Menggunakan penyelesaian dengan cara memberi uang atau memberi apalah, tanpa ada kejelasan apa sebenarnya peristiwa itu, mengapa peristiwa itu terjadi, siapa yang sesungguhnya terlibat," ucap Usman, Senin (28/9/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/06553381/dugaan-keterlibatan-aparat-dalam-kasus-penembakan-pendeta-yeremia