Menurut Susi, hak substantif adalah partisipasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dalam penyusunan RUU.
Sementara, hak prosedural adalah aspirasi tersebut dapat dipertimbangkan dalam pembahasan RUU.
"Mengapa ini jadi penting? karena jangan sampai partisipasi itu hanya secara formal saja," kata Susi dalam diskusi virtual, Jumat (9/10/2020).
Susi mengatakan, DPR dan pemerintah telah mengundang para pakar, ahli, dan kelompok masyarakat untuk menampung masukan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
Namun, menurut Susi, masukan tersebut tidak ditindaklanjuti DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU sapu jagat tersebut.
"Hanya sekadar memanggil (kelompok masyarakat), tetapi what next-nya itu tidak dijalankan, dan ketika kita berangkat dari prinsip negara hukum dengan prinsip hak asasi manusia, semua prosedur itu adalah jantungnya hukum begitu," ujarnya.
Lebih lanjut, Susi menyoroti, aturan dalam UU Cipta Kerja yang banyak memiliki aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Ia berharap, dengan adanya PP tersebut, pemerintah dapat melakukan reformasi regulasi, bukan malah menimbulkan hiper-regulasi.
"Dalam metode omnibus law itu apakah juga dapat melakukan reformasi regulasi? Apa jangan-jangan dia (UU cipta kerja) malah menyumbang hiper regulasi," kata dia.
Untuk diketahui, omnibus law RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR, Senin (5/10/2020).
Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak seluruh hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.
Hasilnya, RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi undang-undang. Mayoritas fraksi DPR dan pemerintah setuju.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/09/19135131/guru-besar-hukum-sebut-uu-cipta-kerja-tak-pertimbangkan-aspirasi-rakyat