JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, 16 tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004, pegiat hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib tewas setelah dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda.
Meski sejumlah nama telah disidang dan menjalani hukuman, kenyataannya aktor intelektual di balik kasus tewasnya Munir tak kunjung terungkap.
Diracun
Aktivis kelahiran Malang pada 8 Desember 1965 lalu itu diketahui tewas saat berada di dalam pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 974.
Munir tewas dua jam sebelum tiba di Bandara Schipol, Amsterdam. Saat itu, Munir diduga sakit sebelum menghembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 08.10 waktu setempat.
Berdasarkan dokumen Harian Kompas, dugaan itu muncul setelah pendiri Imparsial dan aktivis Kontras itu terlihat seperti orang sakit setelah beberapa kali ke toilet.
Utamanya, setelah pesawat lepas landas usai transit di Bandara Changi, Singapura.
Dua bulan setelah kematian Munir, Kepolisian Belanda mengungkap bahwa Munir tewas akibat diracuni. Hal itu diketahui setelah senyawa arsenik ditemukan di dalam tubuhnya setelah otopsi dilakukan.
Senyawa itu diketahui terdapat di dalam air seni, darah dan jantung yang jumlahnya melebihi kandungan normal.
"Begitu hasil pemeriksaan laboratorium terhadap jenazah Munir dari Belanda yag kami terima dari Departemen Luar Negeri. Ada dugaan kematian Munir tidak wajar," ungkap Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar seperti dilansir dari Harian Kompas, pada 13 November 2004.
Seret nama Garuda
Nama maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia, yang ditumpangi Munir saat perjalanan terakhirnya turut mendapat sorotan dalam perkara ini.
Terlebih setelah salah satu pilotnya, Pollycarpus Budihari Priyanto, menjadi terdakwa dan dipidana kurungan penjara selama 14 tahun sebagai pelaku pembunuhan.
Pollycarpus sendiri telah bebas murni pada 29 Agustus 2018 lalu, setelah memperoleh bebas bersyarat pada 2014 silam.
Kejanggalan terlihat lantaran saat kejadian seharusnya status Pollycarpus cuti. Namun, ia justru satu pesawat dengan Munir.
Di dalam film dokumenter Garuda's Deadly Upgrade (2005), kejanggalan itu terlihat setelah terdapat surat tugas Nomor GA/DZ-2270/04 tertanggal 11 Agustus 2004.
Surat itu ditandatangani oleh Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan.
Gara-gara surat itu juga, Indra pun turut menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir dan divonis 1 tahun penjara pada 11 Februari 2008.
Di persidangan, Indra membantah terlibat di dalam kasus pembunuhan tersebut. Namun, muncul dugaan bahwa surat tugas itu dibuat setelah Indra menerima surat dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Surat dari BIN itu diduga diterima pada kurun Juni atau Juli 2004. Di dalam pledoinya, Indra tidak tahu apakah surat BIN itu bagian dari rencana pembunuhan Munir atau tidak.
Namun, yang ia pahami bahwa surat tersebut merupakan surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya mencegah ancaman teror.
Seret nama BIN
Setelah Pollycarpus, giliran nama mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang turut terseret dalam perkara ini.
Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Muchdi Pr sebagai tersangka setelah menjalani serangkaian pemeriksaan. Muchdi pun diketahui menyerahkan diri sebelum diperiksa.
"Beliau menyerahkan diri dan bersikap sangat kooperatif dengan penyidik. Pasal yang dikenakan adalah Pasal 340 tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 tentang turut serta dalam tindak pidana," kata Kabareskrim saat itu, Komjen Bambang Hendarso.
Namun, di dalam persidangan pada 13 Desember 2008, Muchdi Pr akhirnya divonis bebas dari segala dakwaan.
Ujian sejarah
Sebenarnya, cahaya harapan agar kasus serta dalang di balik pembunuhan Munir terungkap sempat menyala, yaitu saat Presiden SBY membentuk tim investigasi independen atau tim pencari fakta untuk mengungkap pembunuhan di udara itu.
Namun, hingga kini hasil investigasi itu tidak pernah dibuka ke publik.
Pada 2016 lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) sempat membuat keputusan agar Presiden Joko Widodo dapat mengumumkan hasil penyelidikan yang dilakukan tim penari fakta.
Namun, Sekretariat Negara justru mengajukan banding atas keputusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Banding akhirnya dimenangkan pemerintah di tingkat PTUN pada 16 Februari 2017.
Kontras dan Imparsial pun berupaya mencari titik terang dalam kasus pembunuhan Munir dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun, kasasi MA memperkuat putusan PTUN pada 13 Juni 2017. Ini berarti temuan TPF kembali tertutup dan tidak dapat dipublikasikan kepada publik.
Hingga kini, masyarakat masih berharap agar titik terang pembunuhan kasus ini dapat terungkap. Seperti kata Presiden SBY pada 2004 silam, pengungkapan kasus Munir akan menjadi ujian bagi sejarah negeri ini.
SBY sendiri hingga akhir periode kedua masa pemerintahannya tak kunjung membuka informasi siapa di balik kasus pembunuhan Munir.
Sikap SBY berbeda jika dibandingkan dengan pernyataannya pada 13 Februari 2012. Saat itu, dihadapan wartawan Istana Kepresidenan, SBY menyatakan, tak ingin meninggalkan utang pengungkapan kasus pembunuhan Munir kepada pemerintahan selanjutnya.
Setelah tampuk kepemimpinan berpindah ke tangan Presiden Joko Widodo, dalang di balik kasus pembunuhan Munir masih tak kunjung terungkap. Paling tidak hingga kini, memasuki tahun kedua periode kedua pemerintahan Jokowi.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/07/17012461/pengungkapan-kasus-kematian-munir-yang-jadi-ujian-sejarah