Menurut dia, pemerintah terkesan terlalu fokus pada pemulihan ekonomi daripada penyelamatan kesehatan.
"Pemulihan ekonomi nasional ini bagus segera diantisipasi, tapi jangan lupa bahwa penanganan kesehatan juga menjadi sesuatu yang urgen dipikirkan," kata Saleh, Kamis (3/9/2020).
"Karena orang kalau sakit tidak bisa bekerja, tidak bisa berpikir, akan berpengaruh pada produktivitas masyarakat. Ini yang menurut saya penting diperhatikan pemerintah dalam hal budgeting," ujar dia.
Penganggaran pemerintah untuk penanganan Covid-19 merujuk pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Berdasarkan Perppu 1/2020, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 yang kemudian direvisi menjadi Perpres 72/2020.
Melalui perubahan perpres tersebut, pemerintah menganggarkan penanganan Covid-19 menjadi Rp 695,2 triliun.
Total biaya penanganan Covid-19 tersebut terdiri dari biaya kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, bantuan UMKM Rp 123,46 triliun, pembiaayan korporasi Rp 537,57 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga & pemda Rp 106,11 triliun.
Selanjutnya, pemerintah merealokasi anggaran kesehatan dari Rp 87,55 triliun menjadi hanya Rp 72,73 triliun.
Saleh menuturkan, anggaran pemerintah untuk penanganan Covid-19 ini cukup besar.
Namun, ia melihat ada ketidakseimbangan antara anggaran untuk bidang kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi.
"Saya lihat penganggaran ini sendiri tidak adil. Kalau dibagi tiga, anggaran ada di bidang kesehatan untuk pengobatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi nasional. Kalau dilihat ini belum seimbang," ucapnya.
Selain itu, ia menilai koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta kementerian/lembaga masih menjadi persoalan.
Menurut Saleh, berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat tak bisa jadi rujukan bersama.
"Di sisi lain regulasi tersebut juga belum menjadi rujukan yang baik untuk koordinasi lintas kementerian/lembaga, dan pemerintah pusat dan pemerintah daerah," kata dia.
"Kalau dilihat koordinasi kan selalu jadi masalah dan harusnya bisa diselesaikan dengan adanya regulasi," tutur Saleh.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan, tak perlu lagi Indonesia menerapkan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menghadapi pandemi Covid-19.
Sebab, dengan penerapan PSBB, ekonomi tidak bergerak.
"Tidak perlu lagi kita misalnya harus lockdown, haruslah PSBB, enggak perlu. Kalau kita lockdown atau PSBB apa yang terjadi? Ekonomi tidak bergerak," kata Abdul dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (1/9/2020).
Dengan tidak bergeraknya ekonomi, kata Abdul, negara mengalami resesi. Lebih lanjut, terjadi konflik yang luar biasa di mana-mana.
Abdul pun mengimbau masyarakat tak terlalu cemas dengan Covid-19. Sebaliknya, ia meminta masyarakat hidup berdampingan dengan virus corona.
"Negara kita menjadi resesi. Apa yang terjadi? Terjadilah konflik di mana-mana, konflik sosial, implikasi sosial, implikasi ekonomi luar biasa," ucap dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/03/10595781/anggota-komisi-ix-pemulihan-ekonomi-bagus-diantisipasi-tetapi-kesehatan