Setidaknya, terdapat 4 modus politisasi SARA dan kampanye hitam.
"Ada beberapa modus politisasi SARA atau kami sebut modus terkait dengan black campaign," kata Ratna dalam sebuah diskusi daring yang digelar Kamis (13/8/2020).
Pertama, pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas yang bermuara ke isu SARA.
Menurut Ratna, hal ini banyak terjadi di Pilkada DKI 2017 serta pada Pemilu 2019.
Kedua, ceramah-ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan.
Untuk mengatasi hal ini, kata Ratna, perlu pendekatan-pendekatan struktrual pada tokoh-tokoh agama khususnya yang dianggap berpengaruh pada Pilkada 2020 ini.
Bawaslu sejak Pemilu 2019 telah bekerja sama dengan kelompok lintas agama, baik Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan.
Ratna mengatakan, kerja sama itu salah satunya menghasilkan buku mengenai pemilihan umum tanpa politisasi SARA dan politik uang.
"Isinya adalah berupa bahan sosialisasi digunakan oleh tokoh-tokoh agama, para ustaz, para mubaligh, kemudian pendeta ketika mereka melakukan ceramah-ceramah di rumah ibadahnya masing-masing di Pemilu 2019 kemarin, dan ini kami lanjutkan di Pilkada 2020," ujar Ratna.
Modus lainnya, lanjut Ratna, spanduk calon kepala daerah yang mengandung pesan verbal berkonten SARA.
Terakhir, penyebaran ujaran kebencian oleh akun-akun anonim di media sosial.
Dengan semakin masifnya penggunaan media sosial beberapa waktu terakhir, diprediksi politisasi SARA melalui platform tersebut juga akan meningkat.
"Ini pekerjaan yg tidak mudah bagi Bawaslu bagaimana bisa menindaklanjuti temuan atau laporan ujaran kebencian yang dilakukan di akun yang tidak resmi di media sosial," kata Ratna.
Ratna menambahkan, secara eksplisit larangan politisasi SARA telah diatur di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal 69 huruf b secara tegas menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, dan golongan calon kepala daerah dan atau partai politik.
Kemudian, Pasal 69 huruf c juga melarang kampanye yang menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau kelompok masyarakat.
Sanksi terhadap perbuatan ini diatur dalam Pasal 187 Ayat (2). Orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan di atas dapat dipidana penjara paling singkat 3 bulan atau paling lama 18 bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600.000 dan paling banyak Rp 6.000.000.
"Kita memang berharap Pilkada tahun 2020 akan lebih baik dari Pemilu 2019 yang banyak diwarnai dengan isu-isu SARA," kata Ratna.
Untuk diketahui, Pilkada 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Semula, hari pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September. Namun, akibat wabah Covid-19, hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.
Tahapan Pilkada lanjutan pasca penundaan telah dimulai pada 15 Juni 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/18041711/bawaslu-ungkap-4-modus-politisasi-sara-yang-potensial-terjadi-di-pilkada