Menurut dia, penyebaran paham radikal intoleran juga dilakukan melalui media sosial.
"Mereka juga memanfaatkan channel-channel dari akun media sosial," kata Boy Rafli dalam acara diskusi bertajuk "Sinergi BNPT dan Pemuda Pancasila dalam Membangun Kesiapsiagaan Nasional", Jumat (3/7/2020).
"Dan juga bahkan dalam hal-hal tertentu mereka sangat senang apabila media mainstream memberikan panggung kepada mereka untuk melakukan itu," ucap dia.
Ia juga menilai, media sosial saat ini masih menjadi sarana yang paling efektif untuk menghasut generasi muda agar terpapar paham radikal.
Mengingat, kata Boy Rafli, angka pengguna internet di Indonesia sudah mencapai di atas 140 juta orang dan 90 persenya memiliki akun media sosial.
Oleh karena itu, kemungkinan besar para penyebar paham radikal itu juga menggunakan media sosial.
"Dan tentunya kelompok muda di sana kalau kita lihat dapat dikatakan menjadi kelompok mayoritas pengguna media sosial," ujar dia.
Ia berserta jajarannya mengaku selalu melakukan pemantauan terhadap akun media sosial tertentu.
Pemantauan itu, menurut Boy Rafli, juga dilakukan bersama lembaga lainnya seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"Jadi kita membangun kerja sama kemudian melakukan identifikasi dan melakukan langkah-langkah kontra narasinya," ucap dia.
Sebelumnya, Badan Intelijen Negara ( BIN) menyebutkan, masyarakat yang berusia 17-24 tahun menjadi sasaran paham radikalisme, termasuk di Indonesia.
Paham radikalisme yang bersumber dari dalam maupun luar negeri manargetkan anak muda menjadi sasaran utama penyebaran paham tersebut.
"Memang yang disasar itu anak usia 17-24 tahun. Karena mereka masih muda, masih energik, masih mencari jati diri," ujar Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto saat diskusi Polemik di Jakarta, Sabtu (10/8/2019).
"Kemudian mereka juga semangatnya masih tinggi sehingga itu yang menjadi target utama para penyebar paham radikalisme," kata Wawan.
Ia mengatakan, paham radikalisme akan cepat terserap oleh anak muda di rentang usia tersebut, terutama jika mereka tak memiliki kemampuan berpikir kritis.
Oleh karena itu, menurut dia, peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk memberikan edukasi, supaya paham radikalisme bisa terdeteksi secara dini.
"Paparan radikalisme ini biasanya masuk kepada mereka yang tidak kritis dalam mempertimbangkan sesuatu," kata Wawan.
"Oleh karena itu, kami tetap melakukan literasi publik dan digital, termasuk patroli siber guna mendeteksi secara dini paham-paham anti-Pancasila," ucap dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/03/15343511/kepala-bnpt-penyebar-paham-radikalisme-manfaatkan-media-sosial