Salin Artikel

Perjuangan di Era Covid-19, Semangat Kewilayahan demi Kepentingan Nasional

SEJAK merebak di awal Maret 2020, tiga bulan setelah kasus pertama di Wuhan, China, angka kejadian Corona virus disease (Covid-19) di Indonesia makin meningkat secara eksponensial.

Hingga tulisan ini dibuat (5 Mei 2020), sebanyak 12.071 penduduk Indonesia terkonfirmasi menderita Covid-19. Faktanya, "hanya" sekitar 0,004 persen penduduk yang terjangkit.

Namun, puluhan ribu pasien dalam waktu dua bulan adalah angka kejadian yang fantastis. Ditambah bukti bahwa baru 16,9 persen yang dinyatakan sembuh, menunjukkan wabah ini harus dianggap sangat serius.

Secara medis, banyak hal istimewa pada penyakit ini: penyebaran masif dengan akselerasi tinggi, mekanisme penyakit yang berbeda, tampilan klinis yang variatif, sampai pada ujungnya mengubah pola pelayanan fasilitas kesehatan.

Walaupun tengah diupayakan berbagai modalitas terapi, sampai saat ini pengobatan konvensional pneumonia masih "cukup" untuk menangani sebagian besar pasien.

Upaya promotif dan preventif tampaknya masih menjadi senjata utama dan ampuh untuk mencegah penyebaran penyakit.

Tidak dibutuhkannya pengobatan canggih pada sebagian besar kasus, tidak lantas membuat dunia medis tenang. Kemampuan suatu negara untuk mencukupi layanan kesehatan terhadap pasien Covid-19 yang jumlahnya meningkat sangat pesat dalam waktu yang sangat singkat, akan menjadi tantangan yang besar.

Data tahun 2017 menunjukkan rasio tempat tidur rumah sakit terhadap jumlah penduduk Indonesia adalah 1 per 1.000 penduduk; angka ketersediaan yang sangat kecil dibandingkan Jepang 13,1 per 1.000 penduduk, yang merupakan rasio terbesar di dunia.

Artinya, dalam satu waktu, tiap 1.000 penduduk Indonesia yang sakit akan berebut 1 tempat tidur.

Rupanya rasio ini pun tidak merata, DKI Jaya memiliki rasio terbesar 2/1.000, diikuti oleh Sulawesi Selatan 1,53/1.000, Jawa Tengah 1,15/1.000, dan Jawa Timur 1,07/1.000.

Bahkan di beberapa provinsi besar, rasio ini di bawah 1/1.000: Riau 0,98/1.000, Kalimantan Tengah 0,91/1.000, Banten 0,87/1.000, dan Jawa Barat 0,85/1.000.

Bisa dibayangkan, bila angka kejadian Covid-19 makin membeludak, sebagian besar penduduk Indonesia yang terjangkit Covid-19 berat, terpaksa dirawat di bawah standar.

Dokter nantinya harus memutuskan berdasarkan prediksi medis, mana yang "layak hidup" dan mana yang "patut direlakan", mirip kondisi dalam medan pertempuran, untuk menentukan prajurit mana yang diangkut dan yang ditinggal. Sebagian besar pasien akan melewati akhir hidupnya secara merana dan sia-sia.

Hal ini diperparah oleh rasio jumlah dokter terhadap penduduk. Rasio 1 per 2.500 yang selama ini optimal pada kondisi normal, akan menjadi sangat kurang pada kondisi wabah.

Apalagi distribusi dokter tidak merata di setiap daerah dan adanya risiko kelelahan (exhausted) dalam menangani pasien. Begitu pula, jumlah obat, alat pelindung diri (APD), dan mesin ventilator jumlahnya sangat terbatas. Seluruh hal tersebut akan membawa Indonesia pada kondisi chaos atau karut-marut.

Bila dicermati, salah satu dari sekian masalah adalah ketidaksiapan fasilitas kesehatan. Saat rumah sakit (RS) rujukan daerah atau pusat "dipaksa oleh keadaan" dan "secara naluriah" mempersiapkan diri untuk menerima pasien Covid-19, fasilitas kesehatan lain terkesan gelagapan untuk bertransformasi menjadi layanan kesehatan Covid-19.

Hal ini wajar karena begitu banyak sumber daya yang harus ditambah dan diubah, antara lain: ruang isolasi, APD, sarana diagnostik mikrobiologi dan radiologi, tenaga ahli, tenaga kesehatan yang "berani", alur dan protokol pelayanan, dan berbagai sistem RS lainnya.

Rasa gelagapan ini selanjutnya berubah menjadi sikap yang bervariasi: ada yang berani maju, ada yang terkesan takut, dan ada pula yang menarik diri dari kancah layanan kesehatan Covid-19.

Dampaknya, sebagian besar beban layanan pasien bertumpu pada RS rujukan. Padahal dalam 1 provinsi, hanya terdapat 1-2 RS rujukan utama, yang sebelum era pandemi pun sudah kewalahan menerima pasien.

Saat ini, 132 RS di seluruh Indonesia telah ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan sebagai RS rujukan, ditambah lagi beberapa RS daerah yang ditunjuk oleh gubernur tiap provinsi. Apakah ini menyelesaikan masalah?

Jawabannya kembali tergantung dari seberapa banyak ruang isolasi dan tenaga yang mampu disiapkan oleh masing-masing RS. Dengan jumlah pasien yang dirawat saat ini sebesar 8.471, dan asumsi bahwa tiap RS mampu menyediakan 10 ruang isolasi, dibutuhkan 850 RS di seluruh Indonesia dengan kemampuan yang setara.

Atau sebaliknya, bila RS yang tersedia tidak sampai sejumlah tersebut, artinya setiap RS harus menyediakan ruang isolasi lebih dari 10. Lagi-lagi dengan catatan, kemampuan tiap RS harus setara. Sebuah pilihan yang sulit.

Aktivasi Sistem Kewilayahan: Regionalisasi Sistem Rujukan RS

Kendala ini dapat disiasati dengan melakukan regionalisasi pelayanan RS, setingkat kota, kabupaten, atau gabungan beberapa wilayah tertentu. Prinsipnya adalah pembentukan satelit-satelit pelayanan lingkup kecil dalam 1 provinsi.

Tiap sistem satelit terdiri atas 1 RS besar sebagai rujukan untuk beberapa RS atau fasilitas kesehatan yang lebih kecil. RS yang dijadikan rujukan tidak perlu dibatasi pada RS pemerintah, asalkan mampu secara paripurna memberikan pelayanan Covid-19.

Beberapa sistem satelit tersebut akan bergabung dalam satu sistem yang lebih besar, dengan RS rujukan utama provinsi sebagai pusatnya. Model ini analogis dengan sistem tata surya, yaitu tiap sistem bintang saling berhubungan membentuk galaksi.

Pembentukan sistem satelit ini dapat mengurangi beban RS rujukan utama, sehingga RS rujukan utama provinsi atau pusat bisa berkonsentrasi menangani kasus-kasus kompleks dan sub-spesialistik, atau mengembangkan teknik diagnostik dan terapeutik baru.

Andaikan tiap provinsi minimal bisa membentuk 4-5 sistem satelit, beban RS rujukan utama akan berkurang 75-80 persen.

Keuntungan lain adalah jarak transportasi pasien tidak terlalu jauh, mempersingkat waktu pasien untuk mendapatkan penanganan emergensi, mencegah penyebaran virus ke luar daerah, dan mempermudah pelacakan kasus pada daerah yang lebih sempit.

Pengalaman berbagai negara, terutama China dan Italia menunjukkan 90-95 persen pasien cukup dirawat di ruang isolasi biasa (non-ICU), atau bahkan tidak membutuhkan perawatan RS.

Hanya 5-10 persen pasien suspek Covid-19 membutuhkan perawatan intensif (Intensive care unit, ICU). Angka ini dapat dijadikan dasar pembagian level dan tugas tiap fasilitas kesehatan dalam sistem satelit.

Setiap sistem harus melakukan kajian terhadap kemampuan fasilitas kesehatan dalam wilayahnya, dan membagi dalam beberapa level. Contoh: level 1 untuk puskemas, klinik, RS tipe C-D; level 2 untuk RS tipe B-C, dan level 3 untuk RS tipe A-B.

Selanjutnya, fasilitas kesehatan level 1 bertugas melayani pasien rawat jalan dan inap derajat sakit ringan, level 2 untuk rawat jalan dan inap pasien derajat sakit sedang, level 3 untuk rawat inap pasien derajat sakit berat/kritis, dan RS rujukan utama khusus untuk perawatan pasien derajat sakit sedang-berat dan kompleks, yang membutuhkan penanganan sub-spesialistik.

Begitu pula dalam pembagian tugas diagnostik: level 1 cukup dengan pemeriksaan fisik dan kriteria diagnostik dari Kementrian Kesehatan, level 2 dibekali dengan rapid test, sedangkan level 3 dan RS rujukan utama dibekali dengan tes baku emas berbasis polymerase chain reaction (PCR).

Tiap fasilitas kesehatan harus mampu menyediakan ruang isolasi dengan jumlah sesuai kemampuan. Mengingat transmisi Covid-19 adalah melalui droplet (bukan airborne), adanya ruang isolasi terpisah dari layanan reguler, APD level 3 yang memadai, dan jalur pasien-petugas yang tidak bersinggungan dengan layanan reguler, sudah memadai untuk layanan Covid-19.

Tidak harus setiap fasilitas kesehatan menyediakan ruang isolasi tekanan negatif, kecuali RS rujukan dengan kasus-kasus kritis yang memerlukan tindakan berisiko aerosol (aerosolized generating procedure, AGP).

Tidak hanya ruang isolasi biasa, ruang ICU Covid-19 dapat pula diselenggarakan di fasilitas level 1, bila jumlah pasien makin meningkat melebihi kapasitas RS rujukan. Hal ini berdasarkan mekanisme penyakit yang mulai terkuak.

Awalnya diduga kematian pasien Covid-19 disebabkan oleh kerusakan paru (Sindrom Gawat Napas Akut) yang ditandai oleh penumpukan cairan di jaringan paru sehingga menjadi tidak elastis, sulit mengembang, dan tidak mampu menerima oksigen dalam jumlah memadai.

Sebagai konsekuensi, pasien memerlukan mesin ventilator. Ketersediaan mesin inilah yang menghambat kesiapan RS atau fasilitas kesehatan menyiapkan ICU.

Namun belakangan, diduga beberapa pasien menunjukkan gejala kekurangan oksigen (hipoksia) tanpa ada tanda-tanda penurunan elastisitas/komplians paru; gejala yang mirip dengan hipoksia akibat ketinggian.

Pada tahap ini, pasien tidak memerlukan ventilator, dan cukup dengan oksigen aliran tinggi (yang saat ini pasti ada di seluruh fasilitas kesehatan).

Pemeriksaan klinis berkala dengan dibantu pulse oximeter (yang bisa dibeli murah) merupakan metode sederhana yang sangat membantu pemantauan pasien kritis dalam beberapa jam atau hari pertama, sambil menunggu transfer pasien ke RS rujukan.

Di era daring (online) seperti saat ini, rasanya tidak sulit melakukan telemedicine untuk koordinasi layanan kesehatan, diskusi kasus antardokter, dan supervisi oleh tim dokter RS rujukan.

Kasus-kasus sulit dapat terpecahkan melalui diskusi jarak jauh. Jarak tempuh sudah bukan lagi batasan.

Suatu hal yang bagus bila lokasi pasien terpisah-pisah dan terpetakan berdasarkan derajat sakitnya, namun tetap dalam koordinasi tim medis RS rujukan di sistem satelit kecil wilayah.

Pada akhirnya, inilah salah satu jalan keluar untuk mengurai keruwetan masalah fasilitas kesehatan di era pandemi. Seluruh fasilitas kesehatan harus bergerak, mampu dan mau melayani pasien Covid-19 sesuai level, dan membentuk suatu sistem terkoordinasi mulai dari wilayah kecil sampai provinsi, atau bahkan sampai pusat.

Selain itu juga harus selalu meng-upgrade kemampuan pelayanan untuk mengantisipasi peningkatan tajam jumlah pasien.

Hari ini kita kembali dihadapkan pada peperangan seperti era melawan penjajahan; sama-sama untuk mempertahankan kedaulatan hidup sebagai manusia. Dalam lingkup bangsa, ini saatnya semua komponen bergerak di lingkup wilayah demi kepentingan nasional yang lebih besar.

Harapan kita bersama, di akhir pandemi, kembali kita ikrarkan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Merdeka dari penyakit, merdeka dari rasa takut, merdeka dari rasa enggan untuk menolong sesama. (Saptadi Yuliarto, Tim Satgas Covid-19 RSUD dr. Saiful Anwar Malang | Staf Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK Universitas Brawijaya Malang)

 

https://nasional.kompas.com/read/2020/05/05/15441071/perjuangan-di-era-covid-19-semangat-kewilayahan-demi-kepentingan-nasional

Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke