Sebab, RUU tersebut dinilai tidak berpihak pada kemanusiaan dan lingkungan hidup.
"RUU ini bahkan mengancam melebarkan ketimpangan dan mempercepat kehancuran muka bumi di wilayah administrasi Indonesia," kata Nur Hidayati dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/4/2020).
Hidayati mengatakan, seharusnya pemerintah mendahulukan kepentingan rakyat dan lingkungan terlebih dahulu.
Pasalnya, di saat ada upaya meningkatkan investasi, tetapi kondisi lingkungan hidup Indonesia tengah tercemar.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah menghentikan pembahasan RUU tersebut.
"Laju deforestasi yang seiring sejalan dengan peningkatan bencana hidrometeorologis dan berbagai kerusakan lain menjadi bukti bahwa pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kondisi bumi dan kemanusiaannya," ujar dia.
Selain mendesak untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, Walhi juga mendesak pemerintah untuk mengeluarkan UU yang berbasis pada kepentingan rakyat dan lingkungan hidup.
Kemudian, pemerintah diminta untuk melakukan evaluasi perizinan industri ekstraktif yang telah merusak dan mengancam rakyat dan lingkungan hidup.
Serta mengubah haluan ekonomi kapitalis ke praktik ekonomi nusantara, praktik ekonomi berbasis kearifan lokal yang adil dan lestari.
Sebelumnya, Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi menempatkan korporasi sebagaimana persekutuan dagang Belanda (VOC) pada masa kolonial.
Walhi menilai ada potensi negara melayani korporasi dan mengesampingkan masyarakat.
"Kami lihat posisi korporasi Indonesia ke depan itu seperti (zaman) VOC, yakni soal haknya terhadap sumber daya alam, bagaimana rakyat diisolasi untuk tidak punya hak, dan negara berperan melayani VOC," ujar Zenzi dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/22/15174001/walhi-minta-pembahasan-ruu-cipta-kerja-dihentikan-ini-alasannya