Diketahui, Pasal 34 ayat (1) dan (2) mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan 100 persen.
Artinya, dengan dikabulkannya permohonan uji materi tersebut, MK membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
"Ini tentunya sangat kita harapkan. Kita, Komisi IX sudah berjuang luar biasa untuk ketidaknaikan iuran BPJS Kesehatan, terutama kelas 3. Alhamdulillah MA membatalkan kenaikan iuran BPJS ini," kata Nihayatul ketika dihubungi wartawan, Senin (9/3/2020).
Nihayatul meminta, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk segera melaksanakan putusan MA tersebut.
Selain itu, Menurut Nihayatul, pemerintah perlu menyusun langkah strategis bagaimana utang jatuh tempo yang ditanggung BPJS Kesehatan dapat diatasi.
"Tentunya juga kita perlu melakukan desain ulang bagaimana agar kekurangan biaya utang yang ditanggung oleh BPJS ini segera teratasi tanpa harus menaikkan iuran dari peserta," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, MA mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, putusan itu dibacakan pada Februari lalu.
"Ya (sudah diputus). Kamis 27 Februari 2020 diputus. Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil," ujar Andi ketika dikonfirmasi, Senin (9/3/2020).
"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut," lanjut Andi.
Sementara itu, dikutip dari dokumen putusan MA, menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dikutip dari laman resmi KPCDI, mereka mendaftarkan hak uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, pada 5 Desember 2012.
Pengacara KPCDI Rusdianto Matulatuwa menilai kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menuai penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya dari KPCDI.
Rusdianto menegaskan, iuran BPJS naik 100 persen tanpa ada alasan logis dan sangat tidak manusiawi.
"Ingat ya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi," lanjutnya.
Rusdianto menambahkan, tingkat inflasi ini betul-betul dijaga, tidak melebihi 5 persen.
"Nah, ini kenaikan (inflasi) tidak sampai 5 persen, tapi iuran BPJS dinaikkan 100 persen, ini kan tidak masuk akal,” ucap Rusdianto.
Menurut Rusdianto, Perpres 75 Tahun 2019 menjadi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Ya undang-undangnya kan mengatakan besaran iuran itu ditetapkan secara berkala sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak,” tambahnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/09/19331611/pimpinan-komisi-ix-minta-putusan-ma-terkait-iuran-bpjs-kesehatan-segera