Namun, menurut dia, tidak pernah ada koordinasi dengan serikat pekerja dalam merumuskan RUU Cipta Kerja.
"Faktanya seluruh organisasi tersebut ditambah organisasi jurnalis media itu menyatakan tidak pernah dilibatkan (dalam proses perumusan RUU Cipta Kerja)," kata Usman dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020).
Usman mengatakan, dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), partisipasi adalah hal yang sangat penting.
Menurut dia, pada Pasal 25 Konvenan International Hak-hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa negara wajib membuka partisipasi publik dan menjamin hak warga negara untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan mencakup pembuatan kebijakan.
Sementara itu, hukum Indonesia juga mengatur bahwa untuk memastikan partisipasi masyarakat, maka setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah.
Oleh karenanya, Usman menilai, penyusunan RUU tersebut melanggar HAM karena tak melibatkan serikat pekerja.
"Secara faktual tidak ada (draf RUU Cipta Kerja di website Kemenkumham) dan banyak masyarakat tidak punya dokumen itu," ujarnya.
"RUU Omnibus ini saya kira tidak melibatkan partisipasi bahkan melanggar prinsip, jadi tidak melibatkan partisipasi, bahkan belakangan kita catat serikat buruh yang mulai diintimidasi," sambungnya.
Selanjutnya, Usman mengkritik dihapusnya Pasal 59 dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal ini mengatur ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu dua tahun dan diperpanjang maksimal satu kali dalam jangka satu tahun.
Menurut dia, penghapusan Pasal 59 akan membuka ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja di bawah PKWT tanpa batas waktu.
"Artinya, pekerja dapat dipekerjakan dalam waktu yang tak terbatas berdasarkan perjanjian kontrak tanpa kepastian skema keamanan, pengupahan dan jaminan pensiun sebagaimana berlaku bagi PKWT," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/04/17490951/omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dinilai-langgar-hak-asasi-manusia