Salin Artikel

RUU Cipta Kerja, LBH Pers Soroti Pasal Karet yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers

Menurut Mona, aturan yang tercantum pada pasal 87 draf RUU Cipta Kerja ini mengharuskan perusahaan pers mendaftarkan dirinya menjadi perusahaan yang berbadan hukum.

"Kami melihat bahwa banyak sekali media yang belum berbadan hukum. Seperti media komunitas, start-up media, media mahasiswa. Media-media ini nilai independensiannya tajam sekali dibandingkan dengan media besar," ujar Mona dalam konferensi pers di Kantor WALHI, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).

Media-media tersebut berpotensi terkena pasal karet ketika memberitakan hal yang tidak sejalan dengan pemerintah.

"Misalnya pers mahasiswa atau start up media, atau media komunitas, yang memberitakan sesuatu disebut ilegal, atau tidak berbadan hukum. Jadi jika ada sengketa pers itu yang dinilai bukan tulisan atau kode etiknya melainkan legalitasnya dulu, " jelas Mona.

Dia juga menilai kondisi seperti itu nantinya akan berpotensi merugikan media.

"Bisa melenceng ke pasal soal pemberitaan bohong, berita tidak pasti dan sebagainya, " lanjutnya.

Lebih lanjut, Mona juga mengkritisi adanya aturan yang memperberat sanksi pidana bagi perusahaan pers.

Sanksi ini bisa diberlakukan jika perusahaan pers memberitakan atau memuat opini yang bertentangan dengan norma kesusilaan, moral dan agama serta menolak hak jawab.

Sanksi denda sebesar Rp 2 miliar menurutnya akan sangat membebani perusahaan pers di daerah.

"Kalau misalnya perusahaan pers di daerah. Untuk 50 juta saja syukur-syukur bisa menggaji wartawannya, ini dikenai pidana denda Rp 2 miliar. Apakah ini merupakan bentuk pemiskinan perusahaan pers yang melanggar? (tidak sesuai dengan pemerintah), " tambah Mona.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com atas draf omnibus law RUU Cipta Kerja yang resmi diserahkan pemerintah kepada DPR, dua aturan itu merupakan perubahan atas Pasal 18 ayat (3) dan pasal 18 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Aturan pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan ketentuan pidana bagi perusaan pers yang tidak mengumumkan data perusahaan dan tidak berbadan hukum tercantum pada pasal 18 ayat (3).

Aturan itu berbunyi, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

Sedangkan dalam draf RUU Cipta Kerja, aturan itu diganti menjadi, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.

Adapun ketentuan mengenai jenis, besaran denda, tata cara dan mekanisme tambahan soal sanksi administratif akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara yang dimaksud data perusahaan adalah nama, alamat, penanggungjawab. Khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Draf RUU Cipta Kerja memperberat sanksi pidana bagi perusahaan pers yang tidak menghormati norma agama, norma susila dan melanggar sejumlah larangan.

Larangan itu yakni merendahkan agama, mengganggu kerukunan hidup beragama, larangan memuat iklan minuman keras, narkotika dan larangan memuat iklan wujud rokok dan peragaan rokok.

Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers aturan ini tercantum pada pasal 18 ayat (2) yang berbunyi, Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

Sementara itu dalam draf RUU Cipta Kerja, aturan diubah menjadi, perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).

Adapun seluruh perubahan aturan yang terkait pers tercantum pada pasal 87 draf RUU Cipta Kerja.

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/20/16344621/ruu-cipta-kerja-lbh-pers-soroti-pasal-karet-yang-dinilai-ancam-kebebasan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke