"Kalau dari aspek legal formal, ya otoriter. Artinya undang-undang bisa dibatalkan oleh presiden, itu otoriter," ujar Ray dalam forum diskusi di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020).
Ray menyebut, apabila seorang Presiden memiliki kewenangan mengubah UU, maka posisi Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tidak ada gunanya lagi.
Mengingat, Presiden secara tidak langsung telah mengambil alih fungsi MK menguji UU.
Dengan begitu, Ray menyebut adanya kewenangan Jokowi mengubah UU akan membawa Indonesia sebagai negara yang tak lagi demokratis.
"Jelas tidak demokratis. Salah satu prinsip negara demokratis itu adalah aturan dibuat secara bersama. Kecuali yang mengatur dirinya sendiri, presiden mengatur dirinya sendiri, dia buat Perpres, dia buat Kepres, itu boleh," tegas Ray.
Dia menerangkan, UU merupakan aturan yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Karena itu, faktor kepentingan publik itu mengharuskan UU dibuat berdasarkan kehendak publik.
Apabila UU tersebut dapat diambil alih oleh Presiden untuk menggantikannya menjadi PP, maka Jokowi telah melawan kehendak publik.
"Undang-undang itu bisa dibatalkan secara ekslusif oleh Presiden sendiri. Artinya Presidennya melawan kehendak publik, itu menjadi kekacauan," tegas dia.
Seperti diketahui, dalam pasal 170 ayat 1 BAB XIII RUU Omnibus Cipta Kerja, Presiden memiliki kewenangan mencabut UU melalui PP dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja.
Tak hanya itu, Presiden juga memiliki kewenangan mencabut Perda yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Hal itu termaktub pada Pasal 251 di draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang menggantikan Pasal 251 dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/16/14174251/presiden-bisa-batalkan-uu-di-ruu-omnibus-law-cipta-kerja-ray-rangkuti-itu