Pertama, BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada tahun 2016.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, temuannya antara lain investasi yang tidak didukung dengan kajian usulan penempatan saham yang memadai serta kurang optimal dalam mengawasi reksadana.
"PT AJS berpotensi terhadap resiko gagal bayar atas transaksi investasi pembelian medium term note dari PT Hanson Internasional dan PT AJS kurang optimal dalam mengawasi reksadana yang dimiliki, dan terdapat penempatan saham secara tidak langsung di satu perusahaan yang berkinerja kurang baik," ungkap Agung saat konferensi pers di Gedung BPK, Jakarta Pusat, Rabu (8/1/2020).
Menindak lanjuti temuan itu, BPK kemudian melakukan pemeriksaan investigatif pendahuluan sejak tahun 2018.
Berdasarkan temuan BPK, Jiwasraya membukukan laba semu sejak tahun 2006 melalui rekayasa akuntansi. Padahal, perusahaan tersebut sudah merugi.
Kerugian itu disebabkan karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan cost of fund yang sangat tinggi sejak tahun 2015.
"Dana dari saving plan tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan liquiditas pada PT AJS yang berujung pada gagal bayar," katanya.
Pada penjualan produk saving plan tersebut, BPK juga menemukan sejumlah penyimpangan.
Di antaranya, penunjukan pejabat yang tidak sesuai ketentuan, pengajuan cost of fund langsung kepada direksi tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak sesuai dokumen perhitungan dan review cost of fund, serta diduga adanya konflik kepentingan.
"Dalam pemasaran pada produk saving plan yang diduga terjadi konflik kepentingan atau conflict of interest karena pihak-pihak terkait di PT AJS mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut," ujar dia.
Kemudian, Jiwasraya juga diduga melakukan investasi pada saham dengan kualitas rendah.
Dugaan penyimpangan lainnya antara lain, pembelian dan penjualan saham tidak berdasarkan data valid, negosiasi harga saat jual beli saham, serta kepemilikan saham tertentu yang melebihi batas maksimal.
Agung mengatakan bahwa pemeriksa BPK terus mendalami dugaan tersebut. Namun, indikasi sementara kerugian akibat transaksi itu sekitar Rp 4 triliun.
Lalu, pada Juni 2018, BPK memeriksa 28 produk reksadana Jiwasraya.
"Di antaranya sebanyak sekitar 20 produk reksadana PT AJS di atas 90 persen. Reksadana tersebut sebagian besar adalah reksadana dengan underline saham berkualitas rendah dan tidak liquid," tutur Agung.
Menurut BPK, indikasi kerugian sementara akibat penurunan nilai saham reksadana sekitar Rp 6,4 triliun.
Saat ini, BPK juga melakukan penghitungan kerugian negara dari kasus tersebut, sesuai permintaan Kejaksaan Agung.
Agung mengatakan, pihaknya membutuhkan waktu sekitar dua bulan.
"BPK sampai saat ini terus bekerja sama dengan Kejagung untuk menghitung nilai kerugian negara dalam kasus tersebut dan direncanakan dapat selesai dalam waktu sekitar 2 bulan," ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/08/21324941/periksa-jiwasraya-2-kali-selama-2010-2019-ini-temuan-bpk