Salin Artikel

Kaleidoskop 2019: Polemik Desa Fiktif yang Berujung Pembekuan Dana Desa

Tidak main-main, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lah yang pertama kali mengungkapkan keberadaan desa fiktif tersebut saat rapat dengan Komisi XI DPR terkait realisasi penyaluran dana desa.

Menurut dia, kemunculan desa fiktif tidak terlepas dari derasnya kucuran dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat setiap tahunnya.

Bahkan, berdasarkan informasi yang diterima, banyak desa baru tak berpenduduk yang sengaja dibentuk demi mendapatkan kucuran dana tersebut.

“Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa),” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 4 November lalu.

Beberapa saat kemudian, Polda Sulawesi Tenggara mengumumkan keberadaan dua desa fiktif di Kabupaten Konawe, setelah sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya supervisi dan bantuan tenaga ahli yang diberikan lembaga antirasuah tersebut kepada Polda Sultra.

Semula, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebut, ada 34 desa yang diduga bermasalah, dimana tiga diantaranya diduga fiktif dan 31 desa lainnya memiliki SK Pembentukan, tetapi dibuat dengan tanggal mundur.

Kepala Subdit Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Humas Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh menyebut, pihaknya mengamankan sejumlah dokumen terkait kasus desa fiktif berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-Desa Dalam Wilayah Kabupaten Konawe.

Dari 56 desa yang dilaporkan fiktif, penyidik kemudian melakukan pengecekan fisik di 23 desa yang tidak terdata di Kementerian Dalam Negeri serta Pemprov Sultra. Hasilnya, ada dua desa yang tidak memiliki penduduk sama sekali.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pun semula tak menampik keberadaan desa-desa fiktif tersebut, setelah Presiden Joko Widodo meminta agar seluruh pihak bekerja sama untuk mengusut keberadaannya.

Bahkan, berdasarkan temuan Kemendes PDTT setidaknya ada 15 desa fiktif yang telah ditemukan.

Namun, Wakil Menteri Desa PDTT Budi Ari Setiadi menilai, temuan itu sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah desa yang ada di seluruh wilayah Indonesia yang mencapai 74.954 desa.

“Presentasenya sangat kecil,” kata Budi melalui keterangan tertulis, pada 6 November lalu.

Dugaan sementara, desa-desa fiktif itu muncul munculnya desa-desa fiktif itu lantaran adanya persoalan administrasi.

Oleh karena itu, ia berharap, agar aparat penegak hukum dapat segera memproses persoalan ini guna mengetahui apakah ada dugaan penyelewengan dana desa di dalamnya.

Anggaran fantastis

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah memang memberikan perhatian yang cukup besar terhadap desa. Hal itu terlihat dari alokasi dana desa yang disalurkan pemerintah setiap tahunnya.

Tahun ini, misalnya, anggaran dana desa yang disalurkan pemerintah mencapai Rp 70 triliun. Jumlah tersebut naik tiga kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2015.

Pada tahun 2020, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran sebesar Rp 72 triliun.

Sehingga, tidak heran bila kemudian dana desa menjadi bancakan oleh oknum tidak bertanggung jawab yang ingin mendulang keuntungan pribadi.

Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, munculnya kasus desa fiktif tidak terlepas dari lemahnya proses verifikasi penyaluran dana desa oleh pemerintah pusat.

Pada dasarnya, setiap desa memiliki kode wilayah yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Namun, meski kode wilayah tidak ada, pemerintah justru tetap mengalokasikan dana desa meski penyalurannya diberikan melalui kabupaten/kota terlebih dahulu.

"Bayangkan transfer duit tapi hitungannya bagaimana, enggak tahu. Ternyata desanya desa bodong, desa hantu, atau apa pun namanya. Ini berarti soal verifikasi kita lemah sekali," kata Robert saat dihubungi, Rabu (6/11/2019).

Memang, ia menambahkan, besaran alokasi dana desa berbeda antara desa satu dengan yang lain. Perbedaan itu didasarkan pada letak geografis, jumlah penduduk, hingga tingkat kemiskinan.

"Saat masuk ke Kemenkeu, ketika memasukkan desa itu dalam variabel perhitungan kan tidak asal angkut begitu saja, dia harus koordinasi dengan Kemendagri yang punya kode wilayah bahkan juga dengan Kementerian Desa," kata dia.

"Nah ini bagaimana koordinasi di pusat, ini berarti dari kabupaten/kota langsung ke Kemenkeu dipakai tanpa ada koordinasi kiri-kanan dengan dua kementerian lain, Kemendes dan Kemendagri," imbuh Robert.

Hal yang sama juga dipertanyakan Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi. Politikus PPP itu mempertanyakan pengawasan Kemendagri sehingga muncuat kasus ini.

Ia pun meminta Kemendagri hingga Kemenkeu menyelidiki persoalan ini guna mengetahui apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian di dalamnya.

“Kok bisa ada desa-desa fiktif itu? Pertanyaan pertama adalah, bagaimana fungsi dari pembinaan, fungsi dari pengawasan yang selama ini dilakukan?” kata Arwani saat dihubungi pada 13 November lalu.

Sementara itu, anggota Ombudsman RI Laode Ida menilai, munculnya kasus desa fiktif tidak terlepas dari rendahnya moral pejabat publik.

Mereka sengaja melanggar janji yang pernah diucapkan saat pelantikan demi memuaskan hasrat pribadi.

“Kalau pemerintah sudah tahu, langsung saja copot pejabatnya karena sudah menyalahi beberapa ketentuan. Janji dia sebagai pejabat public atau pejabat negara dia langgar, doa bohong, manipulatif,” kata Laode di Kantor Ombudsman RI, pada 6 November lalu.

Mekanisme ketat

Sebenarnya, bila berbicara tentang pembentukan sebuah desa di suatu wilayah, ada mekanisme ketat yang harus dilalui dan dipenuhi.

Hal itu sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Di dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan ada tiga cara pembentukan desa yaitu pemekaran dari satu desa menjadi dua atua lebih; menggabungkan beberapa bagian desa dari desa yang bersanding menjadi satu desa; dan menggabungkan beberapa desa menjadi satu desa baru.

Ada delapan syarat pembentukan desa yang diatur di dalam Pasal 8 ayat (3) UU Desa.

Pertama, batas usia desa paling sedikit lima tahun sejak pembentukan. Kedua, jumlah wilayah yang dikategorikan berdasarkan wilayah.

Untuk wilayah Jawa paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.200 kepala keluarga (KK). Sementara wilayah Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.000 KK. Untuk wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 jiwa atau 800 KK.

Untuk wilayah Kalimantan kecuali Kalimantan Selatan paling sedikit 1.500 jiwa atau 300 KK. Kalimantan Selatan disamakan jumlahnya dengan Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo yakni paling sedikit 2.000 jiwa atau 400 KK.

Untuk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 jiwa atau 600 KK.

Perbedaan juga terlihat untuk wilayah NTT dan NTB, yakni 2.500 jiwa atau 500 KK untuk NTB dan 1.000 jiwa atau 200 KK untuk NTT. Wilayah Maluku dan Maluku Utara mengikuti syarat yang sama seperti NTT dalam hal jumlah.

Adapun untuk Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 jiwa atau 100 KK.

Syarat berikutnya yaitu wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah dan sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat-istiadat desa.

Calon desa tersebut juga harus memiliki potensi, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung.

Selain itu, juga memiliki batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang telah ditetapkan dalam peraturan bupati/wali kota.

Dua syarat terakhir ialah desa tersebut harus memiliki sarana dan prasarana bagi pemerintah desa dan pelayanan publik serta memiliki dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lain bagi perangkat pemerintah desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bila seluruh syarat terpenuhi, mekanisme selanjutnya diatur dalam Pasal 8 Ayat (2), (5), (6), (7) dan (8), Pasal 10, Pasal 15 Ayat (1) dan (2), Pasal 16 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 17 Ayat (2) UU Desa.

Pembentukan desa baru ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat-istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat, serta kemampuan dan potensi desa.

Selanjutnya dibentuk desa persiapan. Desa ini dapat merupakan bagian dari wilayah desa induk.

Nantinya, status desa persiapan dapat ditingkatkan menjadi desa dalam kurun 1-3 tahun tergantun dari hasil evaluasi.

Berikutnya, rancangan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan dari bupati/wali kota dan DPRD diajukan ke gubernur.

Setelah itu, gubernur mengevaluasi raperda tentang pembentukan kelurahan menjadi desa berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, daerah, masyarakat desa, dan peraturan perundang-undangan.

Dalam kurun 20 hari, gubernur akan memberikan sikap atas usulan raperda tersebut. Bila disetujui, pemkab/pemkot akan menyempurnakan dan menetapkan raperda itu menjadi perda paling lama 20 hari. Perda itu juga harus dilengkapi dengan peta batas wilayah desa baru.

Dibantah

Sementara itu, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar membantah informasi keberadaan desa fiktif yang diduga menerima anggaran dana desa dari pemerintah pusat.

"Sejauh ini belum ada," kata dia di Kompleks Istana Presiden, pada 8 November lalu.

Pernyataan kakak Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, itu bertolak belakang dengan pernyataan Wamen Desa PDTT Budi Ari Setiadi yang menyebut adanya temuan 15 desa fiktif dari penelusuran pihaknya sebelumnya.

Halim menyampaikan, berdasarkan penelusuran tim Kementerian Desa, ada penduduk yang menghuni desa-desa yang diduga fiktif itu. Ia mencontohkan Desan Konawe yang diduga sebagai desa fiktif.

Menurut Halim, keberadaan desa itu jelas, ada penduduknya, dan dana desa yang dikucurkan ke sana pun dipertanggungjawabkan dengan baik.

"Kalau yang dimaksud fiktif itu sesuatu yang enggak ada kemudian dikucuri dana, dan dana enggak bisa dipertanggungjawabkan, itu enggak ada," kata dia.

"Karena desanya ada, penduduknya ada, pemerintahan ada, dana dikucurkan iya, pertanggungjawaban ada, pencairan juga ada, sehingga saya bingung yang namanya fiktif namanya bagaimana," imbuh Halim.

Hal senada diungkapkan oleh pihak Kemendagri, Direktur Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Kemendagri Benny Irwan yang memaparkan bahwa seluruh desa yang mendapat aliran dana desa benar-benar ada.

Hanya saja, beberapa di antaranya tidak memenuhi syarat-syarat administrasi yang lengkap.

"Saya mengatakan tidak ada (desa fiktif). Kemarin sudah konferensi pers dengan Kemendagri, jadi desa itu ada, tidak ada desa fiktif. Memang ada desa yang perlu dikuatkan dalam hal-hal administratif," ujar Benny di Jakarta, pada 19 November lalu.

Dia pun mencontohkan beberapa kelengkapan administrasi desa kerap kali luput dan membuat keberadaan desa menjadi dipertanyakan.

Misalnya persoalan adanya pejabat desa yang meninggalkan desanya dan pencatatan penduduk yang tidak sesuai dengan undang-undang.

Hal tersebut terungkap berdasarkan hasil verifikasi oleh tim Kemendagri di desa-desa yang diduga fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Sementara sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan menduga, desa-desa yang disebut sebagai desa fiktif lahir sebelum Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa terbit.

Oleh karena itu, kata dia, akan lebih tepat apabila desa-desa tersebut disebut sebagai desa yang sedang dalam penataan administrasi dibandingkan sebagai desa fiktif.

"UU tentang desa kan baru lahir. Setelah lahir UU desa, kami membuat peraturan mendagri tentang desa, syaratnya jumlah penduduk," kata Nata saat dihubungi, pada 12 November lalu.

Ancaman Sri Mulyani

Kendati belum mengantongi berapa jumlah pasti desa fiktif yang disebutkan, Sri Mulyani mengancam, akan membekukan aliran dana desa yang masuk ke desa yang terindikasi fiktif.

Tak hanya itu, ia juga meminta pemerintah daerah bertanggungjawab mengembalikan dana desa yang telah disalurkan bila terbukti di wilayahnya mengalir dana desa ke desa fiktif.

"Kalau ada daerah yang ketahuan ada dana desa yang ternyata desanya tidak legitimate ya kita bekukan. Kalau sudah terlanjur transfer ya kami ambil lagi, melalui siapa? Ya pemerintah daerahnya dong," ujar dia ketika memberi sambutan di Sosialisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2020 di Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, pada 14 November lalu.

Di lain pihak, Kemendagri merampungkan investigasi terhadap 56 desa di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang sebelumnya terindikasi fiktif. Hasil investigasi menunjukan bahwa seluruh desa itu ada dan bukan desa fiktif.

"Sebenarnya tidak fiktif. Kami garis bawahi, tidak fiktif," kata Nata Irawan di Gedung Kemendagri, Jakarta Pusat, pada 18 November lalu.

"Yang terjadi itu, desa ada, tetapi tidak berjalan tata kelola pemerintahannya secara optimal," lanjut dia.

Meski desa-desa itu telah dipastikan keberadaannya, Kemendagri menemukan, pembentukan desa itu cacat hukum.

Sebab, landasan hukum yang menjadi dasar pembentukan desa, yaitu Perda Nomor 7/2011 dibentuk tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.

Oleh karena itu, pihaknya bekerjasama dengan Polda Sultra meminta keterangan kepala desa dan perangkatnya di 56 desa itu.

Pasalnya, ada dugaan pembentukannya bermasalah dan berpotensi merugikan keuangan negara.

Dari proses klarifikasi tersebut, didapat fakta bahwa 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa.

Selanjutnya, 18 desa masih perlu pembenahan dalam aspek administrasi dan kelembagaan serta kelayakan sarana prasarana desa.

Sedangkan 4 desa, yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma, didalami lebih lanjut karena ditemukan inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa.

Hasilnya, dari empat desa itu, dua desa yaitu Desa Wiau dan Desa Napooha masih perlu pendalaman hukum secara intensif.

Dana dibekukan

Sejak 2017-2019, pemerintah mengalokasikan dana desa ke empat desa yang terindikasi fiktif di Kabupaten Konawe sebesar Rp 9,3 miliar. Dari total tersebut, baru Rp 4,4 miliar yang telah diterima, sementara Rp 4,9 miliar sisanya belum.

Direktur Fasilitas Keuangan dan Aset Pemerintah Desa Kemendagri Benny Irawan pun tidak menutup kemungkinan dana yang disalurkan ke desa-desa tersebut bisa ditarik kembali oleh pemerintah pusat jika keempatnya terbukti tidak memenuhi ketentuan administratif desa berdasarkan UU 6/2014 tentang Desa.

"Kebijakannya dengan Kemenkeu akan ada perhitungan dengan pemerintah daerah bagaimana terkait uang yang sudah disalurkan," ujar Benny di Jakarta, pada 19 November lalu.

Di lain pihak, atas hasil investigasi yang dilakukan Kemendagri, Kemenkeu akhirnya membekukan aliran dana desa di desa-desa yang terindikasi fiktif.

"Kan ini kan jalurnya dari RKUN ke RKD tingkat 2 baru masuk ke rekening desa. Nah kami bisanya ke rekening daerah ini yang akan kita freeze sejumlah apa yang akan direkomendasikan Kemendagri," ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti di Jakarta, pada hari yang sama.

Astera pun menjelaskan, dalam proses pencairan dana desa pemerintah pusat menyalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Umum Daerah (RKUD) sebelum akhirnya dipindahbukukan ke Rekening Dana Desa (RKD).

Pembekukan aliran dana desa tersebut dilakukan pada tahap pemindahbukuan dari RKUD ke RKD.

Dia pun memaparkan masih menunggu proses pemeriksaan administrasi desa akibat kemunculan desa- desa fiktif yang disorot belakangan ini.

Menurut dia, pihak Kemendagri seharusnya sudah bisa menyelesaikan proses verifikasi di Desember.

Sehingga harapannya, dana desa tahap III bisa dicairkan kembali.

Adapun hingga Oktober 2019, realisasi penyaluran dana desa saat ini menyentuh Rp 52 triliun atau 74,23 persen dari target APBN di angka Rp 70 triliun.

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/19/08531191/kaleidoskop-2019-polemik-desa-fiktif-yang-berujung-pembekuan-dana-desa

Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke