"Kalau ini memang ada masalah seperti ini, dengan pengungkapan ini mau enggak mau secara moral, secara hukum harus dirombak," ujar Yenti usai Diskusi Publik di Cikini, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Yenti menyatakan, terjeratnya Nurhadi dalam kasus suap menandakan potret penegakan hukum di Indonesia sangat buruk.
Dia menyebut bahwa kasus tersebut menjadi preseden buruk bagi keluhuran MA.
Karena itu, jerat hukum yang menimpa Nurhadi menjadi pesan bahwa penyelesaian kasus tersebut harus tuntas.
"Kita masyarakat semua disodorin gambaran, bahwa justru di MA sendiri seperti tidak tersentuh atau bahkan terjadi tapi didiamkan. Ini bahaya sekali untuk keluhuran penegakan hukum. Kan, kita negara hukum, sementara garda tertinggi kita meminta keadilan adalah di sana," kata Yenti.
Di sisi lain, mantan Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyatakan, aturan lembaga manapun tidak bersifat abadi.
Begitu juga dengan MA yang memerlukan evaluasi agar kasus tersebut tak kembali terulang.
"Itu harus dievaluasi, jadi tidak apa-apa, itu diperlukan kalau memang inilah biangnya," tegas dia.
Sebelumnya, KPK menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2011-2016.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkapkan, ketiga tersangka tersebut yakni mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurachman; menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto.
"KPK meningkatkan melakukan penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Senin (16/12/2019).
Saut mengatakan, Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi terkait tiga perkara di pengadilan.
Tiga perkara itu yakni perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, sengketa saham di PT MIT, dan perkara sengketa lahan di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
"Secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk 9 lembar cek dari PT MIT serta suap/gratifikasi dengan total Rp 46 miliar," ujar Saut.
Menurut dia, proses penyidikan terhadap ketiganya telah dimulai pada Jumat (6/12/2019).
Dalam proses penyidikan, KPK telah menggeledah rumah Nurhadi dan menyita sejunlah dokumen dan barang bukti elektronik terkait kasus yang menjerat Nurhadi.
Akibat perbuatannya, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 Ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Hiendra disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Penetapan ketiga tersangka itu merupakan pengembangan dari kasus suap pengurusan perkara perusahaan Lippo Group.
Dalam kasus tersebut, petinggi Lippo Group Eddy Sindoro dan pegawai PT Artha Pratama Doddy Aryanto Supeno divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan.
Mereka dinilai terbukti menyuap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dengan uang senilai Rp 877 juta.
Adapun Edy Nasution divonis 8 tahun penjara karena terbukti menerima suap dari Eddy dan Doddy.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/18/21452671/eks-sekretaris-tersandung-kasus-suap-ma-diminta-lakukan-perombakan