Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan, data itu berasal dari 34 provinsi di Indonesia yang dikumpulkan dengan sejumlah metode, yakni pemantauan media, turun langsung ke daerah (Jawa Barat, Yogyakarta dan Papua) dan pemantauan lewat jejaring yang ada di daerah.
"Sejak tahun 2015-2018, ada 1.056 peristiwa terkait pembatasan kebebasan berkumpul secara damai. Peristiwa itu menyangkut beberapa isu," ujar Yati dalam konferensi pers di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Jumat (6/11/2019).
Isu yang dimaksud, yakni kebebasan berkeyakinan, utamanya untuk pemeluk agama minoritas.
Kemudian, kegiatan berkumpul untuk mendiskusikan topik yang berhubungan komunisme dan marxisme.
Ketiga, kegiatan berkumpul oleh kelompok rentan, dalam hal ini LGBT.
Keempat, kegiatan atau ekspresi masyarakat terkait isu Papua.
"Kontras menyadari bahwa angka ini masih merupakan yang terdokumentasi. Masih terbuka peluang jumlahnya lebih sedikit atau diperkirakan melebihi jumlah yang tercatat," ujar Yati.
Lebih lanjut Yati menjelaskan, ada sejumlah pola dalam kejadian pembatasan berkumpul masyarakat ini.
Pertama, pola pembatasan hak berkumpul dengan menggunakan peran aparat penegak hukum yang tidak terukur.
Kedua, pola pembatasan hak berkumpul yang diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sebenarnya sedang menggunakan hak konstitusional mereka sebagai penyeimbang diskursus negara.
Ketiga, negara tidak memiliki akuntabilitas yang efektif untuk memberikan rasa keadilan kepada korban.
Yati memprediksi, situasi yang terpantau saat ini nantinya akan berdampak kepada kebebasan berkumpul di masa yang akan datang.
Dia menggarisbawahi bahwa kebebasan berkumpul merupakan hak dasar yang akan berpengaruh langsung kepada hak lain.
"Salah satunya berdampak kepada kebebasan berorganiasi dan berserikat ke depannya," tambah Yati.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/06/17205361/kontras-terjadi-1056-kasus-pelarangan-berkumpul-sepanjang-2015-2018