Salin Artikel

Upaya Melarang Koruptor Maju Pilkada yang Terganjal Putusan MA dan MK

Ada 270 wilayah yang akan melangsungkan kontestasi politik di tingkat daerah ini, yang meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Berbagai wacana pun muncul agar penyelenggaraan pilkada serentak dapat berjalan dengan baik, sehingga pemimpin yang dihasilkan pun lebih berkualitas. Salah satunya, larangan bagi eks napi kasus korupsi untuk mencalonkan diri saat kontestasi.

Larangan tersebut akan tertuang di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang kini dalam tahap finalisasi oleh KPU, setelah diharmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Sebenarnya, tidak berlebihan bila KPU mengeluarkan wacana tersebut bila melihat data kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dilansir dari Antara, ada 1.064 koruptor yang telah dieksekusi KPK sejak berdiri 17 tahun lalu hingga Juni 2019. Dari jumlah tersebut, 385 orang merupakan wali kota/bupati, 20 orang gubernur, dan 255 anggota DPR/DPRD.

Dilihat dari jenis perkaranya, 602 kasus terkait penyuapan, 195 kasus terkait pengadaan barang dan asa, 47 kasus terkait penyalahgunaan anggaran, 31 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), 25 kasus pungutan/pemerasan, 23 kasus perizinan, dan 10 kasus merintangi penyidikan perkara.

Adapun dilihat dari modus operandinya, 564 perkara penyuapan, 188 perkara pengadaan barang dan jasa, 46 perkara pengelolaan anggaran, 31 perkara TPPU, 23 perkara perizinan, 3 perkara penyalahgunaan kewenangan, dan 2 perkara pemerasan.

Bukan kali ini saja KPU mencoba melarang eks koruptor untuk menjadi peserta kontestasi pemilu. Pada tahun lalu, KPU pernah menerbitkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Namun, PKPU yang melarang eks koruptor mencalonkan diri itu dibatalkan Mahkamah Agung, lantaran dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.

Novum baru

KPU sendiri tak patah semangat. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, ada novum baru yang dapat mematahkan putusan MA tersebut.

Hal itulah yang kemudian mendorong KPU kembali berencana menerbitkan PKPU yang melarang eks koruptor mencalonkan diri.

Berbeda dari sebelumnya yakni PKPU untuk caleg, kali ini PKPU tersebut ditujukan bagi calon kepala daerah.

"Ada novum baru, ada fakta baru yang dulu menjadi argumentasi dan sekarang patah argumentasi itu," kata Arief usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, 11 November lalu.

Fakta baru yang dimaksud yakni adanya calon kepala daerah yang sudah ditangkap dan ditahan, namun tetap terpilih. Peristiwa itu terjadi di Pilkada Tulungagung dan Maluku Utara.

Syahri Mulyo, Bupati Tulungagung terpilih sempat dilantik Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Kantor Kementerian Dalam Negeri, pada 25 September lalu.

Namun setelah dilantik, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat itu menyerahkan surat keputusan kepada Soekarwo yang menyatakan Maryoto Wibowo, Wakil Bupati Tulungagung terpilih menjadi pelaksana tugas Bupati Tulungagung.

Hal itu terjadi lantaran Syahri sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sesudah terjerat bersama Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dalam kasus dugaan suap terkait proyek-proyek di Tulungagung dan Blitar.

"Jadi sebetulnya, apa yang dipilih oleh pemilih menjadi sia-sia karena yang memerintah bukan orang yang dipilih, tapi orang lain," kata Arief.

Selain itu, ia menambahkan, ada argumentasi yang menyatakan bahwa mantan napi korupsi sudah ditahan dan menjalani pidana telah bertobat dan tidak akan mengulangi kesalahan.

Pada kenyataannya, ada kepala daerah yang telah tersangkut kasus korupsi, justru kembali jatuh di lubang yang sama. Peristiwa itu terjadi di Pilkada Kudus.

Bupati Kudus Muhammad Tamzil pada 26 Juli lalu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait praktik jual beli jabatan di Kabupaten Kudus.

Sebelumnya, saat masih menjabat sebagai bupati Kudus pada periode 2003-2008, ia pernah dinyatakan terbukti bersalah mengkorupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan di kabupaten setempat untuk tahun anggaran 2004 yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus.

Atas kasus tersebut, ia divonis 1 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subside 3 bulan kurungan. Ia kemudian mendapat pembebasan bersyarat dari Lapas Kedungpane Semarang, Jawa Tengah, pada 26 Desember 2015.

"Nah, atas dasar dua fakta ini yang kami menyebutkan sebagai novum. Maka kami mengusulkan ini tetap diatur di pemilihan kepala daerah," kata Arief.

Berpotensi dibatalkan

Bila PKPU ini disahkan Kemenkumham, potensi untuk kembali digugat dinilai masih cukup besar. Apalagi, bila melihat pengalaman sebelumnya PKPU serupa yang pernah dibatalkan MA.

"Bukan berarti kami tidak mengikuti semangat teman-teman penyelenggara pemilu (KPU). Akan tetapi, Saya yakin jika diloloskan oleh KPU, maka akan digugat ke MA. Kemudian putusan MA bisa sama meskipun ranahnya (pemilihannya) berbeda," kata anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (24/11/2019).

Sementara itu, bila larangan ini diusulkan pada revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, hal itu juga berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2016 lalu yang membolehkan mantan koruptor untuk kembali ikut pilkada.

Putusan MK tahun 2016 terkait uji materi Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) menyebutkan, terpidana atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah selama tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara.

"Jadi, kita juga ingin menegakan aturan, supaya patuh. Kita ini kan negara hukum sebagaimana pasal 1 ayat 3 UUD 1945 kita ini kan negara hukum," tutur dia.

“Lalu UUD 1945 Pasal 28 J dan Pasal 73 UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 mengatur bahwa memilih dan dipilih termasuk HAM dan pembatasannya harus melalui UU," imbuh politikus Partai Golkar ini.

Menurut analis politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono, harapan masyarakat untuk dapat memilih pemimpin dengan rekam jejak yang baik kini berada di tangan partai politik.

Parpol harus berani mereformasi diri dalam menjaring bakal pasangan calon kepala daerah yang akan diusung pada Pilkada 2020.

Wakil Dekan I FISIP Undip itu menambahkan, parpol perlu menjaring calon kepala daerah yang memang memiliki komitmen dan pengalaman baik. Sehingga tidak mengarahkan masyarakat pada pilihan yang hanya itu-itu saja, apalagi calon yang pernah terlibat kasus korupsi.

Sumber: Kompas.com (Penulis : Ihsanuddin, Yoga Sukmana, Dian Erika Nugraheny, Kristian Erdianto)

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/27/05050091/upaya-melarang-koruptor-maju-pilkada-yang-terganjal-putusan-ma-dan-mk

Terkini Lainnya

Keluarga Tolak Otopsi Jenazah Brigadir RAT yang Bunuh Diri di Mampang

Keluarga Tolak Otopsi Jenazah Brigadir RAT yang Bunuh Diri di Mampang

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke