"Publik harus secara terbuka diberikan pemahaman bahwa dua beliau itu memang ditempatkan di situ, sebagai bagian dari cara pemerintahan baru meng-address isu bahwa intoleransi harus diatasi, bahwa radikalisme itu harus diatasi," kata Direktur Riset Setara Institute, Halili, di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Minggu (24/11/2019).
Menurut Halili, kedua menteri harus memberi perhatian pada kerukunan umat beragama di daerah.
Sebab, kerukunan umat beragama di daerah menjadi awal untuk membangun basis sosial dalam rangka mencegah intoleransi dan radikalisme.
Ia pun berpandangan bahwa publik juga harus turut mengontrol kebijakan yang diambil dua menteri itu agar tidak menyeleweng.
"Kalau kemudian pendekatan yang dilakukan oleh kedua menteri ini lebih banyak soal pendekatan kuratif, pendekatan represif, pendekatan keamanan apa lagi, nah di situlah ada potensi abuse, ada potensi non-democratic ways," ucap dia.
Maka dari itu, Setara mendorong kedua menteri agar memperkuat kinerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di daerah.
Sebelumnya, survei Indonesia Political Opinion (IPO) menunjukkan, menteri yang dinilai paling tidak tepat berada di pos kementeriannya yaitu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Sebanyak 15,2 persen responden menjawab Luhut sebagai menteri yang tak tepat di posisinya.
Kemudian, sebesar 14,7 persen publik menilai, mantan Kapolri Tito Karnavian tak tepat mengisi posisi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Artinya orang yang bagus, tapi tidak sesuai dengan posisi kementeriannya yang didapatkan di sini adalah Pak Luhut binsar Panjaitan 15,2 persen juga tinggi adalah Pak Tito Karnavian," kata peneliti IPO, Dedi Kurnia Syah, dalam dalam diskusi "Efek Milenial di Lingkaran Istana" di Ibis Hotel Tamarin, Menteng, Jakarta, Sabtu (23/11/2019).
Lalu, 12 persen publik menilai, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate tidak tepat berada di pos Kemenkominfo.
Kemudian, 8,2 persen publik menilai, Nadiem tidak tepat berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Survei tersebut menggunakan metode purposive sampling dalam penarikan sampel.
Survei tersebut dilakukan pada 30 Oktober-2 November 2019 dengan responden yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia.
Selain itu, survei melibatkan 800 responden dengan margin of error sekitar 4,5 persen (pada tingkat kepercayaan 95 persen).
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/24/21330741/penunjukan-fachrul-razi-dan-tito-karnavian-dinilai-upaya-atasi-radikalisme