Nama Alexander masuk dalam 10 besar nama yang diserahkan Panitia Seleksi Capim KPK ke Presiden Joko Widodo, Senin (2/9/2019).
Pimpinan KPK kelahiran Klaten, 26 Februari 1967 ini menempuh pendidikan di SD Plawikan I Klaten, SMP Pangudi Luhur Klaten, SMAN 1 Yogyakarta.
Kemudian, ia melanjutkan pendidikan tinggi D4 Jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan S1 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.
Alexander Marwata menghabiskan sebagian besar kariernya di Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) sejak 1987 hingga 2011. Pada 2012, ia sempat pernah menjadi hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Saat memutuskan mendaftar kembali sebagai capim KPK, Alexander mengaku ingin melanjutkan perjuangannya dalam memberantas korupsi.
"Atas dorongan dan dukungan sejumlah pihak serta untuk menjaga keberlanjutan program pemberantasan korupsi yang sedang berjalan," kata Alexander saat dikonfirmasi, Kamis (4/7/2019).
Bukan calon titipan
Saat uji publik pekan lalu, Alexander menyatakan bahwa ia belum berhasil sebagai pimpinan KPK.
Alasannya, koordinasi dan supervisi pencegahan dan penindakan korupsi di KPK bersama penegak hukum lainnya masih kurang bersinergi.
Ia menuturkan, tugas KPK adalah trigger mechanism yang membuat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan bekerja secara efektif dan efesien.
"Tugas KPK kan trigger mechanism, membuat aparat penegak hukum yang lain, kepolisian dan kejaksaan biar bisa bekerja efektif dan efesien. Namun, sampai sekarang belum," ujar Alexander.
Dalam kesempatan yang sama, ia menegaskan bahwa ia bukan titipan yang berupaya merusak KPK dari dalam tubuh lembaga antirasuah itu.
"Saya harus buktikan bahwa saya bukan titipan siapa pun. Saya ini termasuk pimpinan yang jarang komunikasi dengan pejabat negara atau anggota DPR atau partai politik atau mana pun," kata Alexander.
Atas pertanyaan ini, Alexander mengatakan bahwa ia tak sependapat akan anggapan itu. Ia mengakui, tidak semua kasus ia setujui naik ke tahap penyidikan.
"Harus saya akui, dalam beberapa kasus, saya memang tidak setuju, tetapi semua ada dasarnya, ketika pimpinan lain setuju, saya akan buat catatan. 'Ini lho saya enggak setuju', kalau itu dianggap tidak tegas, saya tidak sependapat," ucap Alex.
Ia menegaskan, dalam memutuskan perkara-perkara yang ditangani KPK, setiap pimpinan memiliki pendapatnya masing-masing, apakah perkara tersebut akan dinaikkan statusnya ke penyidikan atau tidak.
Beberkan pelemahan KPK
Alexander juga mengungkap sejumlah isu yang mengemuka terkait upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu.
"Selama ini yang dikhawatirkan kan soal proses penyadapan yang dilakukan KPK namun harus seizin pengadilan," ujar Alex menanggapi pertanyaan dari anggota pansel, Hendardi.
Menurut Alex, masih ada beberapa pihak yang tak sepakat dengan draf RUU penyadapan karena KPK menjadi instansi yang dikecualikan dalam penyadapan.
"Itu bentuk-bentuk pelemahannya yang saya pahami. Apalagi KPK kan selama ini juga menindak hakim-hakim dari kejaksaan yang melakukan korupsi, maupun kepolisian juga," ucap dia.
Selain itu, seperti diungkapkan Alex, ada juga beberapa pihak yang masih memandang KPK sebagai lembaga ad hoc atau sementara.
"Kemudian soal masa KPK, ada yang masih melihat KPK itu lembaga ad hoc. Itu bentuk pelemahannya, padahal lembaga antikorupsi itu akan terus ada dan berkembang hingga ke daerah," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/07400361/alexander-marwata-bantah-capim-titipan-hingga-ungkap-pelemahan-kpk