Evaluasi tersebut bertujuan untuk melihat sejauh mana efektivitas penerapan kebiri kimia terkait penurunan angka kejahatan seksual.
Pasalnya, kata Ace, ia belum pernah melihat data yang menunjukkan tingkat efektivitas kebiri kimia dalam menciptakan efek jera.
"Tentu kalau sudah dilakukan (kebiri kimia) dari situ bisa dilakukan evaluasi apakah memang misalnya terjadi pengurangan angka kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak," ujar Ace saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/8/2019).
"Saya belum melihat ada data yang menyatakan soal efektivitas dari penerapan hukuman kebiri terhadap penurunan angka kejahatan seksual," tutur dia.
Ace mengatakan, awalnya penerapan sanksi kebiri seksual oleh pemerintah memang berangkat dari semangat untuk menimbulkan efek jera.
Namun, dalam penerapannya, pemerintah harus mengevaluasi sejauh mana efektivitas hukuman tersebut.
Pemberatan hukuman berupa pengumuman identitas pelaku dan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik diatur dalam Pasal 81 Ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2016 yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Sebetulnya payung hukumnya sudah ada. Karena dulu semangat dari lahirnya UU tersebut, hukuman kebiri itu menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak," kata politisi dari Partai Golkar itu.
Diberitakan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto menjatuhkan vonis hukuman kebiri terhadap Muhammad Aris bin Syukur (20). Aris merupakan terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap sembilan anak.
Terkait hal itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menyatakan mendukung putusan tersebut.
Menurut Yohana, hukuman kebiri merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual.
“Ini adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan sehingga efek dari hukuman tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok. Namun, ini salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak," ujar Yohana melalui keterangan tertulis, Senin (26/8/2019).
Yohana mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan pemberatan hukuman di mana pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan tindakan berupa kebiri kimia serta pemasangan alat pendeteksi elektronik.
"Kementerian PPPA tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak," kata Yohana.
Kendati demikian, penerapan hukuman kebiri kimia menimbulkan kontra di kalangan organisasi masyarakat sipil.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai bahwa penambahan ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual menjadi indikasi lemahnya pemerintah menekan angka kejahatan.
Koordinator Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI Anugerah Rizki Akbari mengatakan, pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif tidak cukup dengan menambah ancaman pidana.
Rizky mengatakan, kebijakan menambah ancaman pidana selalu jadi kebijakan populis di sejumlah negara, tetapi tidak menjawab dan menyelesaikan akar permasalahan terjadinya suatu tindak pidana.
Efek jera yang selalu didengung-dengungkan sebagai alasan memperberat pidana dianggap tak didasarkan pada data yang jelas, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/27/12575041/kalau-sudah-dilaksanakan-kebiri-kimia-harus-dievaluasi-efektif-turunkan