Melalui GBHN, terlihat partai politik berupaya meminta pertanggungjawaban langsung Presiden terhadap MPR.
"Dugaannya memang ada upaya untuk meminta pertanggungjawaban Presiden melalui GBHN. Sehingga GBHN menjadi alat untuk mengendalikan Presiden, baik suatu saat nanti ataupun saat ini kalau perubahan itu terjadi dalam periode ini," kata Feri dalam diskusi 'Amandemen, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuas' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Feri mengatakan, jika GBHN kembali diberlakukan, maka seluruh hal, mulai dari kebijakan, program-program kementerian, program pemerintahan, bakal diarahkan oleh MPR.
Sementara itu, MPR terdiri dari orang-orang partai politik.
Dengan kata lain, elite partai politik akan punya kendali penuh terhadap langkah-langkah Presiden.
"Pasti ada upaya lain agar kemudian GBHN bisa berdampak secara politis kepada MPR dan parpol yang menguasi anggota MPR itu," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Feri menambahkan, dilihat dari sisi urgensi, tak nampak pentingnya penghidupan kembali GBHN.
Sebab, hadirnya GBHN justru tidak akan lagi relevan dengan sistem tata negara Indonesia saat ini yang tidak lagi meletakan MPR sebagai lembaga negara tertinggi.
"Tidak masuk akal segala sesuatu yang tidak jelas itu dipaksakan, GBHN kan nggak jelas kegunaannya apa," kata Feri.
Usul supaya GBHN dihidupkan kembali salah satunya dilontarkan PDI Perjuangan.
Dalam Kongres V di Bali, Sabtu (10/8/2019) lalu, PDI-P merekomendasikan amandemen terbatas 1945.
Dalam amandemen itu, menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dengan demikian, MPR memiliki wewenang dalam menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
"Kita memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana," kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto saat ditemui seusai kongres.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/14/18380671/menghidupkan-kembali-gbhn-dinilai-sebagai-upaya-kendalikan-presiden