Anggara mengatakan, revisi UU ITE dan pembahasan RKUHP harus sejalan agar tidak terjadi duplikasi pasal.
"Duplikasi tindak pidana akan mengakibatkan tumpang tindih yang bertentangan dengan kepastian hukum," ujar Anggara kepada Kompas.com, Senin (5/8/2019).
Menurut Anggara, revisi UU ITE harus menjamin duplikasi tidak terjadi, misalnya terkait tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong.
Penelusuran Kompas.com, terdapat perbedaan ancaman pidana terkait tindak pidana penghinaan dalam UU ITE dengan KUHP dan RKUHP yang tengah dibahas.
UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000.
Sementara itu, dalam KUHP tindak pidana penghinaan secara lisan diancam pidana penjara maksimal 9 bulan dan penghinaan secara tertulis maksimal 1 tahun 4 bulan.
Berdasarkan draf RKUHP per 25 Juni 2019, penghinaan secara lisan tetap diancam pidana penjara maksimal 9 bulan.
Sedangkan, penghinaan secara tertulis ataupun gambar diancam pidana maksimal 1 tahun 6 bulan.
"Revisi UU ITE harus menjamin duplikasi tidak terjadi, misalnya untuk tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong," kata Anggara.
Wacana pemerintah merevisi UU ITE mengemuka pasca-pemberian amnesti terhadap Baiq Nuril oleh) Presiden Joko Widodo.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah menyatakan bahwa pemerintah akan membahas rencana revisi UU ITE ini dan meminta Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) untuk mulai mengkaji rencana revisi.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/05/10594841/agar-tak-tumpang-tindih-uu-ite-dan-rkuhp-diminta-sejalan