Kasus polisi tembak polisi ini berawal karena keduanya emosi.
“Ini bisa jadi karena sama-sama keras terhadap pendirian, saling tidak peduli terhadap kebutuhan, harapan, dan kekhawatiran satu pihak dengan pihak lainnya,” kata Andrea.
Mengenai kondisi Brigadir RT, menurut Andrea, perlu didalami lebih jauh.
“Hanya saja si pelaku penembakan bisa jadi memiliki ego, gangguan psikis, arogansi, abuse of power, tidak dapat mengendalikan emosi, atau yang lainnya yang menjadi faktor penyebab,” ujar Andrea.
Andrea juga menyoroti soal kelayakan seorang anggota polisi memegang senjata api.
Hal ini ditentukan oleh uji psikologis dan jasmani yang seharusnya dilakukan secara berkala setiap 6 bulan sekali.
Akan tetapi, menurut dia, ini juga belum cukup untuk memastikan kejiwaan seorang anggota dalam kondisi baik sehingga aman dibekali senjata.
“Perlu ada pemeliharaan dan perawatan agar kualitas kesehatan jiwa tetap prima. Perawatan kesehatan jiwa sama (pentingnya) dengan kesehatan badan, karena justru jiwanya harus kuat dalam bertugas sebagai polisi selain badan,” jelas Andrea.
Kompolnas, lanjut dia, mengusulkan pengadaan konselor psikolog pada setiap polres sejak tahun 2016 untuk menjaga kesehatan jiwa setiap anggota kepolisian.
Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada perkembangan terkait pengadaan psikolog ini.
“Hal ini terlihat ketika penerimaan Perwira Polri Sumber Sarjana, tidak sampai 34 psikolog klinis yang diterima pada tiap tahunnya sejak 2016,” kata Andrea.
Ia menambahkan, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kasus penembakan sewenang-wenang oleh anggota kepolisian akan terulang kembali di kemudian hari.
Andrea menyebutkan, selama ini hanya ada pemeriksaan kesehatan secara fisik seperti uji laboratorium, tetapi tidak ada pemeriksaan dan pemeliharaan kesehatan jiwa secara rutin.
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/26/17271021/polisi-tembak-polisi-ini-tanggapan-kompolnas