Hal itu merupakan inti dari pendapat hukum yang telah diserahkan pihak Kemenkumhan kepada Presiden Jokowi.
"Dari kemenkumham melihat ada peluang untuk memberikan amnesti," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Baiq Nuril meminta amnesti dari Presiden Joko Widodo setelah peninjauan kembali yang diajukannya ditolak MA.
Menanggapi hal tersebut, Yasonna menyusun pendapat hukum bersama sejumlah pakar hukum untuk memperkuat argumentasi amnesti yang akan diberikan Jokowi.
Menurut Yasonna, ada dua pandangan terkait pemberian amnesti bagi Baiq Nuril.
Jika melihat dari preseden hukumnya, amnesti diberikan pada kasus tindak pidana atau kejahatan yang berkaitan dengan politik.
Selain itu pemberian amnesti juga kerap diberikan kepada kelompok yang diduga atau sudah menjadi terpidana suatu kejahatan politik.
Namun, ada yang juga berpandangan amnesti dapat diberikan atas dasar pertimbangan rasa keadilan di masyarakat.
Pasalnya, banyak pihak justru Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh atasannya.
Lagipula, Baiq Nuril sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram.
"Nah ini kan yang kami lihat dari segi rasa keadilan masyarakat. Kami juga mendengar pakar IT ya resmi dari Kemenkominfo yang melihat juga pidananya. Itu sebabnya dibebaskan pada tingkat pengadilan negeri," kata Yasonna.
Kasus Nuril bermula saat ia menerima telepon dari Kepsek berinisial M pada 2012. Dalam perbincangan itu, Kepsek M bercerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq. Karena merasa dilecehkan, Nuril pun merekam perbincangan tersebut.
Pada tahun 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut. Kepsek M menyebut, aksi Nuril membuat malu keluarganya.
Nuril pun menjalani proses hukum hingga persidangan. Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.
Mahkamah Agung kemudian memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Nuril kemudian mengajukan PK. Dalam sidang PK, MA memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/15/12205691/yasonna-ada-peluang-baiq-nuril-diberikan-amnesti