Salin Artikel

Kata Yusril soal Upaya Bebaskan Tersangka Donatur Rencana Pembunuhan Wiranto hingga Yunarto

Berdasarkan keterangan polisi, Habil berperan memberikan uang sejumlah Rp 150 juta untuk membeli senjata kepada tersangka lain, yaitu Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen.

Senjata itu diduga akan digunakan untuk membunuh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan Gories Mere dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.

Selain itu, Habil juga diduga penyandang dana aksi unjuk rasa yang berujung rusuh di depan Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum pada 21-22 Mei 2019. 

Kepada kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, Habil rupanya mengakui bahwa dirinya memang memberikan uang kepada Kivlan Zen. Namun, Habil tidak mengetahui uang tersebut akan digunakan untuk membeli senjata.

Menurut Yusril, Habil hanya mengetahui bahwa yang diberikan akan dipakai untuk membiayai aksi demonstrasi.

"Jadi kalau dari versinya Pak Habil, beliau mengakui memberikan sumbangan dana untuk melakukan kegiatan. Kegiatan apa, beliau tidak mengetahui detail, kegiatan unjuk rasa seperti itu," ujar Yusril dalam wawancara ekslusif dengan Kompas.com di kantornya, Kasablanka Office Tower, Jakarta Jumat (12/7/2019).

"Tapi menurut Pak Habil, beliau tidak mengetahui dan tidak bermaksud agar uang yang disumbangkannya itu untuk membeli senjata. Senjata itu kemudian akan digunakan untuk (perencanaan) membunuh beberapa tokoh di negara kita ini," lanjut dia.

Di sisi lain, penyidik kepolisian meyakini kemungkinan Habil mengetahui uang itu akan digunakan untuk membeli senjata dan membunuh pejabat tinggi negara, selain untuk mendanai demonstrasi. Hal itu diketahui pihak penyidik dari pengumpulan alat bukti dan keterangan para saksi.

Kendati demikian, Yusril belum mau memberikan penilaian pendapat siapa yang dapat dianggap benar, kliennya atau penyidik. Yusril yang juga merupakan pengacara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi itu, mengaku masih menggali fakta-fakta guna mencari kebenaran materiil.

"Jadi dengan begitu, saya coba mengumpulkan informasi itu secara seimbang. Sementara ini, saya tidak mengatakan bahwa Pak Habil benar atau penyidik benar. Karena saya sebagai advokat saya mencoba untuk menggali dari fakta-fakta. Karena ini kasus pidana, yang dicari adalah kebenaran materiil," kata Yusril.

Pasal makar

Meski kliennya berpotensi dikenakan pasal makar, Yusril yakin hal itu justru akan menimbulkan perdebatan. Pasalnya hingga saat ini, Indonesia masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari terjemahan hukum Belanda yang tidak resmi.

Sementara dari segi hukum, kata makar atau 'anslaag' dalam bahasa Belanda sendiri tidak bisa diartikan sesederhana membunuh pejabat negara.

"Dari segi hukum pidana, makar itu sendiri sesuatu yang masih 'debatable'. Jadi, ada kata-kata 'anslaag' dalam bahasa Belanda itu tidak sesederhana diartikan dengan makar dan sebagainya," ucap Yusril.

Menurut Yusril, ada dua pandangan hukum yang mengategorikan apakah sebuah perbuatan termasuk tindak pidana makar atau bukan. Pertama, yakni membunuh kepala negara, dalam hal ini adalah presiden.

Kedua, perbuatan atau upaya untuk memisahkan suatu daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kemudian, terkait penggunaan pasal makar juga dapat dilihat dengan perspektif lain, yakni tidak hanya membunuh, tapi juga membuat kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Oleh sebab itu, kata Yusril, memang perlu didalami lebih jauh apakah rencana pembunuhan terhadap pejabat tinggi negara seperti yang disangkakan terhadap Habil dapat dikategorikan sebagai tindak pidana makar.

"Jadi, ya tentu harus didalami. Kalau yang mau dibunuh ini Pak Wiranto, Pak Tito, Pak Tjahjo, satu lagi Yunarto, itu enggak ada urusannya sama Kepala Negara. Jadi kalau mau membunuh, dia (tindakan) itu bukan makar, itu pembunuhan biasa," kata Yusril.

Perdebatan inilah yang diakui Yusril sebagai peluang ia mampu membebaskan kliennya dari segala tuduhan.

Yusril juga menekankan kepada kliennya untuk tidak berbohong mengenai perbuatannya. Menurut dia, kejujuran merupakan kunci utama nasib seseorang di mata hukum.

"Walaupun saya advokatnya Pak Habil. Tapi saya ingin supaya itu didudukkan secara proporsional. Jadi saya enggak ingin juga, walaupun orang yang didakwa di pengadilan itu punya hak ingkar, tapi saya enggak ingin juga anda (Habil) nanti jangan bohong-bohong," ujar Yusril.

Proses rekonsiliasi

Keputusan Yusril untuk menjadi kuasa hukum Habil Marati ternyata tidak hanya soal penegakan hukum, atau mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Yusril justru melihat kasus tersebut sebagai pintu masuk rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019.

Tidak hanya kasus Habil Marati, tapi juga kasus Kivlan Zen dan kasus kepemilikan senjata api ilegal yang menjerat mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko.

Begitu juga dengan kasus makar pada 2016 yang menyeret nama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus putri Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, tokoh pergerakan Sri Bintang Pamungkas, aktivis Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen dan Adityawarman Taha.

Mereka adalah para tokoh yang secara politik berseberangan dengan Presiden Joko Widodo dan merupakan pendukung capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.

"Nah konteks sebenarnya adalah keinginan kita untuk melakukan rekonsiliasi nasional pascapemilu khususnya pascapemilihan presiden. Dan ini merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi bangsa kita. Kita menyelenggarakan pemilu serentak dengan segala konsekuensi politik yang terjadi sesudah itu," ujar Yusril.

Yusril menilai proses rekonsiliasi sangat penting dilakukan sebagai upaya untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah akibat pilpres.

Sebagai kuasa hukum, ia mengaku akan menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti dan abolisi terhadap seluruh lawan politiknya.

Menurut Yusril pemberian amnesti atau pengampunan itu akan berdampak positif terkait proses rekonsiliasi.

Dengan begitu masyarakat akan melihat bahwa Presiden Jokowi sebenarnya tidak menginginkan perpecahan. Ia juga berharap para pejabat negara yang diduga akan dibunuh juga dapat memberikan maaf.

"Saya akan menyarankan pada Pak Presiden nanti. Pak inilah saatnya untuk Bapak memberikan amnesti dan abolisi kepada beliau-beliau ini," tutur Yusril.

"Mungkin juga Pak Wiranto, Pak Tjahjo atau Pak Tito yang mau dibunuh itu...sudahlah kita saling memafkan, rekonsiliasi. Semua dengan jiwa besar, saya pikir bangsa kita jadi bersatu kembali. luka-luka kita selesai," tambahnya.

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/15/06403351/kata-yusril-soal-upaya-bebaskan-tersangka-donatur-rencana-pembunuhan-wiranto

Terkini Lainnya

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Nasional
Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Nasional
Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Nasional
PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Nasional
Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke