POSISI menteri di Kabinet Jokowi kali ini berbeda. Mereka yang mampu menunjukkan kinerja dalam periode pemerintahan mendatang memiliki peluang untuk maju sebagai kandidat presiden 2024-2029.
Tak berlebihan jika pemilihan menteri kali ini akan dibumbui dengan analisis pertimbangan politik.
Nama yang ada di saku dan tas
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkapkan kepada saya pada acara Sapa Malam Kompas TV Senin pekan lalu,
"Kami sudah mengetahui mana para tokoh yang memang ingin benar-benar bekerja, dan mana yang punya orientasi politik ke depan 2024."
Saya tanyakan lanjut ke Hasto, bagaimana Anda memilah dari apa yang dimaksud pada pernyataan itu?
Hasto menjawab setengah bercanda, “Nama menteri sudah ada di saku Pak Jokowi. Nama tokoh yang juga akan diusulkan sudah ada di tas Ibu Megawati.”
Memang, dalam penentuan menteri, seluruh ketua umum partai koalisi akan dimintai pertimbangan, termasuk PDI-P sebagai partai pengusung Presiden Terpilih Joko Widodo.
Persoalannya kini, apakah Jokowi memiliki keleluasaan memilih para menterinya untuk percepatan pembangunan lima tahun ke depan demi legacy di akhir pemerintahannya?
Sejauh mana tarik menarik partai politik demi kepentingan Pilpres 2024 berbenturan dengan kepentingan Jokowi?
Jawaban yang mungkin sulit di jawab.
Kohabitasi politik presiden-parlemen
Meski dalam beberapa kesempatan Jokowi melontarkan pernyataan bahwa dalam periode kedua ini dirinya bekerja tanpa beban, tapi kenyataan tarik menarik kepentingan dalam politik akan selalu terjadi. Ketiadaan tarik menarik kepentingan politik adalah mustahil.
Ada kepentingan partai koalisi; ada pula kepentingan partai oposisi. Kekuatan politik demi masing-masing kepentingan itu wajar dibangun pada porsinya. Salah satu bentuknya adalah mencari bentuk keseimbangan kabinet berdasarkan perwakilan partai politik.
Apa sebab utama keseimbangan politik selalu diupayakan? Jawabannya adalah kekhawatiran akan adanya kohabitasi politik.
Kohabitasi politik adalah istilah yang berasal dari Perancis saat pemerintahan Presiden François Mittérand dari partai sayap kiri dipaksa harus berdampingan dengan pemerintahan sayap kanan yang digerakkan Perdana Menteri Jacques Chirac pada era 1986-1988. Pada masa kohabitasi Mittérand-Chirac, politik kohabitasi terbentuk.
Saat itu terjadi pertarungan politik. Kedua kekuatan saling mengunci. Salah satunya, masing-masing pihak selalu melakukan tindakan yang berlawanan.
Saat Mittérand yang sosialis melakukan upaya reformasi untuk meningkatkan peran negara pada rakyatnya, Chirac banyak mementahkannya dengan menurunkan pajak serta melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan nasional di Perancis. Keduanya juga berebut pengaruh pada rakyat pemilihnya.
Kejadian serupa juga sempat terjadi di awal pemerintahan Jokowi-JK pada 2014 lalu. Saat itu kursi parlemen mayoritas diduduki oleh partai oposisi yang menamakan diri Koalisi Merah Putih.
Sementara, PDI-P yang merupakan pemenang pemilu 2014 harus rela tidak pernah menduduki kursi Ketua DPR hingga periode pemilu 5 tahun berikutnya.
Semua pimpinan DPR kala itu pun berasal dari partai oposisi. Baru di akhir-akhir periode, komposisi ini berubah.
Sejarah juga mencatat kisah koalisi Sekretariat Gabungan (Setgab) di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pasca-gaduh kasus Century. Setgab tidak pula efektif.
Meski koalisi parlemen mayoritas dikuasai, namun ada saja gangguan terhadap pemerintahan SBY. Ada “anak-anak nakal” koalisi yang sulit diatur dalam praktik politik sehari-hari.
Menteri dan capres selanjutnya
Jika sejarah membuktikan bahwa gangguan dari kohabitasi di Indonesia selalu bisa terlewati, maka tak berlebihan kiranya, kabinet mendatang punya harapan menjadi kuat di periode terakhir Jokowi.
Dinamika politik yang menarik untuk dicermati adalah bahwa pertarungan posisi kabinet sesungguhnya adalah pertarungan dalam menempatkan bidak-bidak yang tepat demi pertarungan kontestasi politik berikutnya pada 2024.
Sesungguhnya kabinet Presidensial dalam konstitusi Indonesia telah sangat kuat. Oleh karenanya, koalisi dan oposisi yang sama-sama kuat justru akan membangun Indonesia lebih transparan dan cerdas. Bagaimana seni menyeimbangkan keduanya tentu menjadi kepiawaian para tokoh yang berlaga.
Pada akhir abad ke-19, seorang aktivis Hak Asasi Manusia asal Amerika Serikat James Freeman Clarke, mengatakan,
"A politician thinks of the next election, while a Statesman of the next generation."
Seorang politisi selalu berpikir tentang pemilihan selanjutnya, sementara seorang negarawan selalu berpikir tentang generasi selanjutnya.
Saya Aiman Witjaksono
Salam!
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/08/08424601/menjaring-menteri-menuju-capres-2024