JAKARTA, KOMPAS.com - Hari pencoblosan Pemilihan Serentak 2019 akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi penyelenggara Pemilu 2019, sebab ini merupakan kali pertama Indonesia menggelar pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif.
Tidak perlu khawatir, bagi pemilih yang masih belum menentukan pilihannya, baik Pilpres dan Pileg, karena informasi mengenai profil seluruh kandidat yang mengikuti pemilu ada di laman dan aplikasi KPU.
Namun, seperti yang kita tahu, banyak dari pemilih yang tidak mau mencari informasi itu karena tertutup oleh polemik pilpres di media sosial.
Hal semacam itu juga kerap didapat oleh Kompasianer Iskandarjet baik di media sosial atau sengaja kopi darat untuk menanyakan langsung pertanyaan: sebenarnya pilih siapa sih?
Biasanya bermula dari pertanyaan itu lalu menjurus langsung ke beberapa status yang menurutnya menjurus pada dukungan ke Jokowi atau Prabowo.
"Pilihan saya untuk Pemilu Serempak 2019, baik Pilpres 2019 maupun Pileg 2019, ada di bilik kotak suara yang dipasang panitia KPPS di TPS," jawab Iskandarjet.
Tidak hanya tentang obloran jelang pemilu yang semakin banyak diperbincangkan, tetap masih ada cerita tentang MRT yang kini sudah tidak lagi gratis hingga nasib para golputers yang terus dirayu.
Berikut adalah 5 artikel terpopuler di Kompasiana selama sepekan ini:
1. April Telah Tiba, Saatnya Mendinginkan Mesin Politik untuk Sesaat
Kompasianer Iskandarjet merasa tidak perlu memberitahu apalagi mengajak orang lain memilih sesuai dengan pilihannya. Bahkan dengan istri pun tidak.
Obrolan dengan istrinya di rumah biasanya seputar uang belanja, kondisi sekolah, dan jadwal kondangan sudah cukup menyibukkan kita berdua.
Ini merupakan kompetisi Jokowi-Prabowo Sesi II. Dari 2014, paslon yang diusung sama, partai utamanya juga sama.
"(Jika) Jokowi terpilih lagi, tidak masalah. Prabowo tidak terpilih lagi, tidak masalah. Jokowi meraih kemenangan kedua, bagus. Prabowo meraih kemenangan pertama, bagus," tulis Iskandarjet. (Baca selengkapnya)
2. Menggugat Kompetensi Calon Legislatif Kita
Ada cukup banyak ongkos yang mesti dikeluarkan bagi para legislator untuk bisa duduk di kursi parlemen. Kompasianer Adrian Chandra mengibaratkan, panggung pemilihan layaknya panggung perebutan pengaruh oleh antar calon legislatif.
Tetapi kemudian muncul anomali dari sebegitu mahal biaya yang mesti dikeluarkan mengapa bisa begitu banyak orang yang mencalonkan diri?
"Logikanya ketika ada aksi untuk menggelontorkan dana kampanya yang menurut kalkulasi dan hemat saya bisa lebih besar daripada gaji mereka ketika terpilih menjadi anggota legislatif," tulis Kompasianer Adrian Chandra.
Sebuah bentuk pemborosan yang sangat tidak perlu mengorbankan begitu banyak dana hanya untuk menjadikan kita dikenal dan dipilih oleh konstituen, bahkan ada yang mengatakan ini sebuah risiko finansial yang harus diambil ketika akan menjadi public figure. (Baca selengkapnya)
3. Seksinya Golput: Dirayu, Dihujat, Bahkan Diharamkan
Ternyata Golput itu sangat seksi. Saking seksi dan menariknya, menurut Kompasianer Yupiter Gulo, kini pusat perhatian dari semua orang.
Alih-alih menjadi rebutan para kontestan partai politik, Golput ternyata tidak mudah dibujuk dan dirayu. Kemudian malah membuat banyak orang geram, marah, dan benci.
Golput rupanya memiliki posisi tawar. Bagi Kompasianer Yupiter Gulo golput paham betul siapa dirinya dalam ruangan publik yang tersedia baginya. Golput juga paham secara hukum, Undang-Undang dan peraturan yang berlaku tentang dirinya itu.
"Sebab, golput itu hanya sebuah pilihan yang tersedia bagi sejumlah pemilih yang berhak untuk menggunakan hak pilihnya secara benar atau tidak. Jadi, tidak ada bedanya dengan sikap masyarakat untuk memutuskan mau makan atau tidak makan, mau bersekolah atau tidak mau bersekolah, atau hal-hal lainnya," tulis Kompasianer Yupiter Gulo. (Baca selengkapnya)
4. Mulai Berbayar, MRT Masih Sepi di Jam Sibuk
Sejak 1 April 2019 MRT Jakarta sudah mulai memberlakukan tarif bagi penumpang. Namun, masih ada diskon 50 persen hingga sebulan penuh.
Saat ini kartu yang bisa digunakan adalah keluaran MRT Jakarta untuk single-trip dan kartu elektronik keluaran bank yang sudah lazim digunakan untuk bayar tol, naik KRL hingga Transjakarta.
Selama dua hari merasakan naik berbayar dan selama dua pekan saya sudah rutin berangkat dan pulang kerja naik MRT Jakarta saat uji coba, Kompasianer Widi Kurniawan merasakan moda ini belum memenuhi ekspektasi jumlah penumpang.
"Sore hari sekitar jam 16 hingga 17 ketika saya naik, masih bisa dapat tempat duduk," tulisnya.
Jadi memang butuh waktu tidak sebentar untuk bisa mengalihkan seseorang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi untuk beralih ke angkutan massal seperti MRT. (Baca selengkapnya)
5. Karena Perfilman Nasional Masih Terus Berbenah
Kompasianer Yonathan Christanto membayangkan, mungkin seorang Usmar Ismail tak akan pernah menyangka, 69 tahun setelah proses pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarainya membawa dampak yang begitu luar biasa bagi negeri tercintanya.
Bukan tentang film saja yang mengalami perkembangan di Indonesia. Lebih dari itu, menurut Kompasianer Yonathan Christanto, perfilman Indonesia juga semakin berkembang secara global.
"Berbagai sisi termasuk industri yang menaunginya, mengalami perkembangan yang signifikan hingga mampu merubah wajah perfilman nasional kita yang semakin cerah ke depannya," tulisnya.
Sebagai contoh film Dilan 1991, terlepas dari filmnya yang begitu cheesy bagi sebagian orang, faktanya ada 800.000 penonton di hari pertama tayang menjadi rekor penonton hari pertama terbanyak.
Jumlah penonton itu bahkan mengalahkan Avengers: Infinity War yang sebelumnya bertengger di angka 545.000. (Baca selengkapnya)
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/06/07000021/-populer-di-kompasiana-saatnya-mendinginkan-mesin-politik-jelang-pemilu