"Ini diakui oleh bangsa Australia bahwa kejadian pembunuhan itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai yang dikandung Australia," kata Gary saat bertemu dengan jajaran pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kantor MUI, Jakarta, Selasa (19/3/2019) siang.
Menurut Gary, sejak peristiwa di Christchurch, seluruh pemerintah dan masyarakat di Australia menganggap aksi Brenton Tarrant tak sekadar penembakan, melainkan terorisme.
"Kita sudah menggunakan istilah teroris bukan hanya sekadar penembak. Dalam hal ini kita memiliki sikap sama (melawan terorisme)," kata dia.
Ia menegaskan, Australia pada dasarnya merupakan negara yang sangat terbuka terhadap para imigran dari wilayah manapun. Menurut dia, proses pembangunan di Australia juga tak lepas dari kontribusi para imigran.
Dua hari setelah peristiwa tersebut, Australia menggelar doa bersama yang melibatkan banyak umat dari berbagai macam agama. Hal itu menandakan solidaritas bersama bangsa Australia untuk melawan segala bentuk terorisme.
Di sisi lain, Australia merupakan negara yang mengedepankan dialog antar agama.
"Hari Minggu Pemerintah Australia terutama di wilayah Victoria mereka mengadakan apa yang dikenal sebagai doa nasional dari bangsa Australia untuk para korban pembunuhan. Di mana saat itu semua masjid dibuka lebar dan muslim serta non muslim berdatangan ke masjid dan ada semacam pencerahan dan ceramah umum dari imam," kata dia.
"Dan ini menunjukkan bagaimana kualitas dan tingkat solidaritas bangsa Australia terhadap para korban," sambungnya.
Dalam peristiwa ini, Brenton Tarrant (28), ditangkap polisi Selandia Baru tak lama setelah melancarkan serangan di masjid.
Serangan teror itu, menewaskan 50 orang dan melukai 50 lainnya.
Peristiwa terjadi di dua masjid, yakni masjid Al Noor dan masjid Linwood, yang berjarak sekitar lima kilometer satu sama lain.
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/19/13294581/dubes-tegaskan-aksi-teroris-di-masjid-selandia-baru-tak-sesuai-pandangan