Salin Artikel

Masih Jadi Kontroversi, Ini 4 Pertanyaan Seputar Supersemar...

Bermodalkan Supersemar, Soeharto yang saat itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan keadaan pasca-Gerakan 30 September yang selama ini dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.

Namun, secara perlahan Soeharto melakukan sejumlah langkah strategis yang membuat dia mengambil alih kepemimpinan nasional.

Adapun, kontroversi terbesar adalah saat ini tidak ada yang tahu di mana keberadaan Supersemar. Salinan terkait kepemimpinan nasional itu hingga saat ini tak terlacak, meskipun peristiwa penyerahan Supersemar dapat dibilang memiliki bukti sejarah yang kuat.

Setelah 53 tahun surat mandat itu dirilis, berikut sejumlah fakta terkait Supersemar. Kompas.com berupaya menghadirkannya dalam bentuk pertanyaan, dengan harapan tetap memicu upaya pengungkapan misteri yang menyelubunginya.

1. Supersemar jadi alat kudeta?

Supersemar tak hanya akronim dari Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat ini dapat dibilang sebagai "mandat" yang diberikan Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Dalam naskah Supersemar, disebut bahwa Soeharto dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan ketika itu. Setelah kondisi pulih, Soekarno berharap mandat itu dikembalikan.

Namun, Soeharto kemudian melakukan sejumlah langkah strategis yang dianggap merugikan Soekarno. Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, langkah itu antara lain menangkap 15 menteri loyalis Soekarno.

Selain itu, Soeharto tanpa persetujuan Soekarno juga melakukan pembubaran PKI yang kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang. The Smiling General itu juga membubarkan Tjakrabirawa selaku pasukan pengaman presiden, serta berupaya mengontrol media.

Langkah Soeharto itu disesali Soekarno, yang menganggap telah melampaui wewenang pengemban Supersemar.

Presiden Soekarno membantah bahwa Supersemar adalah alat untuk transfer kekuasaan kepada Soeharto. Hal ini disampaikan Soekarno dalam pidato yang disampaikan saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1966.

"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".

Sejarawan Asvi Warman Adam pun menilai bahwa Supersemar menjadi alat bagi Soeharto untuk melakukan "kudeta merangkak".

Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan".

"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.

Secara mendasar, Supersemar melibatkan Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto. Namun, surat itu tidak diberikan langsung melainkan melalui perantara tiga jenderal.

Dengan demikian, ada lima orang yang terlibat dalam penyerahan "surat sakti" tersebut. Selain Soekarno dan Soeharto, ada juga nama Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.

Soekarno selaku presiden pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, sempat mengadakan rapat Kabinet 100 Menteri. Namun, dia harus meninggalkan lokasi setelah mendengar ada pasukan tak dikenal di sekitar Istana Kepresidenan di Jakarta.

Amirmachmud selaku anggota kabinet kemudian melaporkan kondisi terakhir di Istana kepada Soeharto. Kemudian, bersama M Jusuf dan Basuki Rachmat, mereka bertiga menemui Soekarno yang sudah berada di Istana Bogor untuk menyampaikan permintaan Soeharto.

Permintaan Soeharto untuk diberikan mandat khusus tidak dianggap luar biasa oleh Soekarno, mengingat situasi pada hari-hari itu memang tidak menentu. Demonstrasi mahasiswa menentang pemerintah berlangsung setiap hari sehingga mengganggu aktivitas pemerintah.

Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 7 Maret 2010, di Istana Bogor, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil PM I/Menlu Subandrio, Wakil PM II/Ketua MPRS Chairul Saleh, dan Wakil PM III J Leimena. Di tempat itu juga hadir Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie.

Sempat muncul desas-desus bahwa ada juga jenderal keempat yang hadir, yaitu Wakil Panglima AD, Brigjen Maraden Pangabean.

Ajudan Soekarno, Soekardjo Wilardjito, bahkan menyebut Maraden menodongkan pistol saat meminta dibuatkan surat mandat untuk Soeharto. Namun, pernyataan Soekardjo telah dibantah Maraden, M Jusuf, juga Soebandrio.

3. Soekarno menyesali Supersemar?

Keberadaan naskah asli dan perbedaan interpretasi mengenai Supersemar menjadi permasalahan ketika itu.

Soekarno menilai bahwa Soeharto tidak berhak melakukan itu, walaupun ia menggenggam Supersemar.

Ia akhirnya mengeluarkan Supertasmar, Surat Perintah 13 Maret 1966. Ini merupakan surat perintah yang dikeluarkan Soekarno untuk mengoreksi Supersemar.

Dalam buku Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998) karya AM Hanafi, disebutkan bahwa Kelahiran Supertasmar berawal ketika Soekarno marah mendengar kabar bahwa Partai Komunis Indonesia dibubarkan oleh Soeharto.

Kekeliruan langkah Soeharto dalam menginterpretasi Supersemar itulah yang memicu Soekarno mengeluarkan Supertasmar.

Supertasmar itu berisi pengumuman bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta untuk segera memberikan laporan kepada Presiden.

Namun sampai saat ini, keberadaanya tak jelas. Supersemar dan Supertasmar yang asli belum bisa diketemukan bahkan pencarian sampai Sekretariat Negara.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam menilai bahwa Supersemar merupakan blunder yang dibuat Soekarno.

"'Mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu'. Itu mungkin blunder yang dilakukan Bung Karno, oleh seorang sipil, dengan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara," kata Asvi pada 6 Maret 2016.

Saat ini, Supersemar yang beredar di tengah masyarakat ada tiga versi. Ketiga versi itu tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Namun, tiga naskah Supersemar yang disimpan dalam brankas antiapi milik ANRI di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, dipastikan tidak autentik alias palsu. Kepastian bahwa naskah itu palsu diperoleh setelah dilakukan uji forensik di Laboratorium Polri pada 2012.

Adapun tiga versi itu, pertama adalah Supersemar dari Sekretariat Negara dengan ciri-ciri jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.

Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama.

Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama Sukarno, pada versi kedua tertulis nama Soekarno.

Ketiga, adalah Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan.

Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.

https://nasional.kompas.com/read/2019/03/11/19044611/masih-jadi-kontroversi-ini-4-pertanyaan-seputar-supersemar

Terkini Lainnya

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke