Nantinya, Majelis Hakim MK dapat memutuskan untuk mengeluarkan putusan provisi, sehingga menangguhkan pemberlakukan norma pada pasal yang diuji.
Proses tersebut bisa saja mempercepat keputusan uji materi terhadap suatu pasal dalam undang-undang.
"Sekiranya (permintaan putusan provisi) dimohonkan, ya mungkin-mungkin saja," kata Fajar saat dihubungi Kompas.com, Senin (4/3/2019).
"Kalau dalam konteks perkara PUU, putusan provisi biasanya MK menangguhkan pemberlakukan norma dalam pasal yang diuji, sampai dengan adanya putusan akhir MK," sambungnya.
Meski begitu, Fajar menyebut, MK juga dapat menolak permohonan putusan provisi.
Keputusan MK akan hal tersebut sangat bergantung dari seberapa kuat argumentasi pemohon.
"Sekali lagi, bergantung pertama-tama pada bagaimana argumentasi pemohon yang bisa meyakinkan MK agar memutus dengan segera," ujar dia.
Fajar menambahkan, permohonan putusan provisi hanya bisa diajukan oleh pemohon uji materi, tak bisa diajukan oleh pihak terkait atau yang lainnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berharap Mahkamah Konstitusi (MK) segera memutus uji materi pasal pencetakan surat suara dan pindah memilih yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal ini supaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya waktu yang cukup untuk memastikan ketersediaan surat suara bagi pemilih yang menempuh prosedur pindah memilih.
Titi menyarankan supaya KPU meminta MK mengeluarkan putusan provisi atau putusan sela.
Uji materi terkait Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sendiri dimohonkan oleh dua orang mahasiswa yang berkuliah di Bogor.
Berdasar surat permohonan yang tercatat di MK, aturan yang diujimaterikan adalah Pasal 210 ayat (1), (2), (3), Pasal 344 ayat (2), dan Pasal 348 ayat (4). Pasal tersebut mengatur tentang ketentuan pindah memilih dan pencetakan surat suara pemilu.
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/04/21263471/cepat-lambatnya-putusan-uji-materi-mk-bergantung-pada-argumentasi-pemohon