Serangan Belanda serentak mengarahkan ribuan pasukan tempur darat dan udara untuk melumpuhkan Indonesia.
Merespons situasi ini, militer Indonesia mulai merancang strategi dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat.
Kolonel Bambang Sugeng selaku Panglima Divisi III (atasan Soeharto) memberikan arahan kepada Letkol Soeharto untuk bertindak.
Dilansir dari Harian Kompas, 4 Maret 1977, selaku Koman Waherkruise III, Soeharto memulainya dengan menemui Sultan Hamengku Buwono IX. Rencana melakukan perlawanan akhirnya mendapatkan persetujuan.
Sebelum memulai gerakannya, dipilihlah tempat untuk merumuskan strategi bertempur yang tepat dan jauh dari jangkauan musuh.
Akhirnya, Desa Bibis dipilih sebagai tempat untuk merancang serangan.
Bibis terletak di Kelurahan Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Lokasinya diyakini akan jauh dari pantauan mata-mata Belanda.
Soeharto dan anggotanya meminjam rumah milik Hardowijadi sebagai markas gerilya.
Di tempat inilah, Soeharto memberi komando penyerbuan, komunikasi radio dengan Jenderal Soedirman hingga Kepala Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi, Syafrudin Prawiranegara.
Dari serangan yang dirancang di Desa Bibis, menunjukkan bahwa Indonesia bisa melakukan perlawanan.
Harian Kompas 28 Februari 1987 menuliskan, sebelum peristiwa ini, dunia internasional menganggap TNI verstrooide benden (gerombolan bercerai-berai) dan kedatangan Belanda akan membawa ketenteraman.
Yang terjadi justru sebaliknya.
Pada 1 Maret 1949, dengan menggunakan penanda janur kuning yang dikalungkan di leher, seluruh kekuatan militer melakukan perlawanan di seluruh penjuru Yogyakarta.
Tepat pukul 06.00, terdengar sirine yang dijadikan kode untuk memulai serangan.
Setiap sudut kota dipenuhi dengan gerilyawan yang sebelumnya telah mendapatkan arahan dari Desa Bibis. Mereka mencoba menguasai pos-pos penting.
Selama enam jam, Yogyakarta dikuasai.
Dapur umum menyambut kemenangan sesaat itu dengan dengan membagikan nasi secara cuma-cuma ke berbagai sudut desa di Yogyakarta.
Pabrik Watson, tempat menyimpan senjata juga dijarah.
Walau hanya 6 jam, serangan ini membawa pengaruh untuk memberikan bantuan moril bagi Lambertus Nico Palar sebagai wakil RI dalam debat di Dewan Keamanan PBB.
Selain itu, juga menambah kepercayaan rakyat untuk melawan musuh yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Rumah di Bibis jadi monumen
Rumah di Desa Bibis yang dijadikan tempat menyusun perencanaan serangan dijadikan sebagai monumen.
Dilansir dari laman Kemendikbud, rumah berukuran 10x25 meter itu terdiri dari pendopo, pringgitan, rumah belakang, gandhok, dan dapur. Semua bagian dipertahankan keasliannya.
Selain itu, benda-benda yang dulunya digunakan seperti meja, kursi, peralatan makan, minum, mesin tik juga tersimpan dalam monumen tersebut.
Di sekeliling bangunan, terbentang halaman cukup luas yang mengitari kawasan dengan pepohonan seperti pohon asam jawa, sawo, dan pohon kelapa.
Namun, sampai saat ini, kondisinya kurang terawat dan terbengkalai. Bangunan pameran disebut banyak yang mengalami kerusakan.
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/01/15493431/desa-bibis-dan-cerita-perencanaan-serangan-umum-1-maret-1949