"Pemerintah berkali-kali menggaungkan zero corruption. Kalau memang komitmen pemerintah dalam konteks pemberantasan korupsi itu sangat tinggi, harusnya persoalan tersebut (keraguan) tidak menjadi landasan," ujar Wana saat menyambangi kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Jakarta Pusat, Rabu (20/2/2019).
Menurut Wana, sejatinya landasan yang digunakan adalah landasan hukum untuk memecat PNS koruptor.
"Landasannya ya hukum, bukan landasan karena relasi keluarga. Ikuti putusan pengadilan dan lakukan, jangan sampai kemudian PNS koruptor digaji, padahal dananya bisa dialokasikan ke yang lain," ungkap Wana.
Sebelumnya, pada akhir Januari lalu, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianto, menyatakan, lambatnya pemecatan PNS yang terbukti korupsi karena adanya keraguan dari sekretaris daerah (sekda) dalam menindak tegas PNS.
"Sekdanya ragu. Saya sudah sampaikan ke mereka dan kepala daerah untuk jangan ragu memecat. Kalau bingung, tanya ke saya, Kemendagri siap bantu," ungkap Sigit, Senin (28/1/2019).
Sigit menuturkan, alasan sekda ragu untuk memecat PNS bermacam-macam, mulai dari PNS-nya yang sudah ganti alamat tempat tinggal hingga sarat dengan hubungan kekeluargaan.
"Ya, alasannya macam-macam. Ada yang rumahnya sudah pindah, ada karena PNS yang bersangkutan adalah saudara kepala daerah, dan sebagainya. Alhasil, komitmen pemecatan tidak maksimal," ungkapnya.
Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) per 14 Januari 2019, baru 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat dari daftar 2.357 PNS yang telah divonis bersalah melalui putusan berkekuatan hukum tetap.
Di luar 2.357 PNS tersebut, terdapat tambahan 498 PNS yang terbukti korupsi dan diberhentikan. Sehingga, total PNS yang diberhentikan baru mencapai 891 orang. Masih ada 1.466 atau 62 persen PNS yang belum dipecat.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/20/15063961/icw-landasan-pemecatan-pns-koruptor-itu-hukum-bukan-relasi-keluarga