"Ini akan jadi budaya permisif. PNS akan terbiasa dengan perilaku koruptif sehingga berimplikasi pada hal lain," ujar staf divisi investigasi ICW Wana Alamsyah saat menyambangi kantor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Jakarta Pusat, Rabu (20/2/2019).
Wana menjelaskan, perilaku koruptif itu bisa ditemukan dalam konteks pelayanan publik. Misalnya layanan yang lamban dari PNS yang bertugas dalam administrasi kependudukan.
"Akan ada kerugian bagi masyarakat ketika layananya terhambat," ungkapnya kemudian.
Jika melihat tren PNS yang terpidana korupsi dari tahun 2010-2018, lanjut Wana, memang tidak ada kenaikkan secara kuantitatif. Namun demikian, PNS tetap menjadi pejabat yang paling banyak terjerat korupsi dibandingkan pejabat lainnya.
"Berdasarkan data ICW, rata-rata 350-an PNS yang korupsi. Ini menjadi keprihatinan kita bahwa sejatinya mereka adalah seorang pelayan publik," jelasnya.
Untuk itu, ICW meminta BPK segera menghitung kerugian negara akibat menggaji PNS terpidana korupsi.
"ICW mendesak BPK segera melakukan pemeriksaan terhadap instansi yang tercatat belum memecat PNS berstatus terpidana korupsi. BPK harus melakukan langkah menghitung kerugian negara akibat gaji yang telah dibayarkan kepada PNS tersebut," ucap Wana.
Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) per 14 Januari 2019, baru 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat dari daftar 2.357 PNS yang telah divonis bersalah melalui putusan berkekuatan hukum tetap.
Di luar 2.357 PNS tersebut, terdapat tambahan 498 PNS yang terbukti korupsi dan diberhentikan. Sehingga, total PNS yang diberhentikan baru mencapai 891 orang. Masih ada 1.466 atau 62 persen PNS yang belum dipecat.
Wana menegaskan, langkah BPK diperlukan lantaran pembayaran gaji PNS berstatus terpidana korupsi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Selain itu, dalam jangka panjang, kerugian negara yang timbul akan merugikan khalayak banyak (masyarakat," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/20/14023991/icw-lambatnya-pemecatan-pns-koruptor-akan-ciptakan-budaya-permisif