Budi merupakan aktivis yang menolak penambangan emas di wilayah Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur.
Pada Januari 2018, ia divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi karena dianggap mengancam keamanan negara.
Kemudian, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya.
Majelis hakim pada Pengadilan Tinggi Surabaya menguatkan vonis 10 bulan penjara yang dijatuhkan hakim PN Banyuwangi.
Heri dianggap bersalah menyebarkan paham komunisme. Ia pun mengajukan kasasi ke MA.
"Menyimak putusan 559/Pid.B/2017/PN.Byw jo. putusan 174/PID/2018/PTSBY menjelaskan bahwa putusan atau perkara ini cenderung dipaksakan. Putusan hakim yang hanya mengabulkan tuntutan dari 7 tahun penjara menjadi 10 bulan memperlihatkan putusan tidak cukup meyakinkan untuk menghukum," kata Herlambang di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (14/12/2018).
"Sementara putusan MA yang hingga kini belum didapat salinan putusannya (oleh pihak Heri) justru menghukum lebih tinggi. Dan kini Budi Pego menghadapi eksekusi atas putusan tersebut," lanjut dia.
Herlambang yang merupakan bagian dari Serikat Pengajar HAM Indonesia menilai bahwa penanganan kasus Budi Pego mencerminkan konservatisme dan lemahnya imajinasi keadilan.
Situasi seperti itu dinilainya membuat hakim mengambil keputusan yang bertentangan dengan keadilan.
"Kasus ini merefleksikan bagaimana dunia peradilan semakin jauh dari rasa keadilan publik. Pencari keadilan yang berusaha mempertahankan ruang hidup dan kehidupannya dari perusahaan tambang emas justru dihukum," ujar dia.
Ia juga mempertanyakan fokus penanganan kasus ini yang terkesan bergeser dari persoalan agraria atau sumber daya alam menjadi kasus politik dengan narasi komunisme.
"Sementara pokok kasus, Budi Pego berupaya memertahankan tanah dan ruang hidupnya termasuk kehidupan warganya justru diabaikan," papar Herlambang.
Di sisi lain, ia menilai ancaman penjara terhadap Budi merupakan ancaman serius bagi upaya perjuangan HAM.
Herlambang mengatakan, kekuasaan kehakiman seharusnya membuka akses keadilan yang proporsional.
"Kasus Budi Pego merupakan kemunduran yang menciderai keadilan bagi warga bangsa yang memperjuangkan hak konstitusinya sekaligus integritas kekuasaan kehakiman," kata Herlambang.
Janggal
Sementara itu, Heri menganggap ada kejanggalan-kejanggalan dalam kasusnya. Ia merasa sama sekali tak pernah membawa atau membuat spanduk yang memuat logo komunisme tersebut saat unjuk rasa.
Sebab, pembuatan spanduk-spanduk unjuk rasa telah diawasi dan dikawal bersama sejak awal oleh sejumlah aparat kepolisian, TNI, dan jurnalis yang meliput aksi itu.
Heri juga menyoroti bukti yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya berupa foto sejumlah orang memegang spanduk yang diduga memuat logo palu-arit tersebut.
"Di foto itu yang megang juga enggak diproses. Justru saya nyentuh enggak, megang juga enggak, malah saya diproses. Mereka yang megang enggak diproses, kayaknya saya aja yang cuma diburu biar saya enggak melawan tambang lagi," kata Heri.
Saat ini, kata Heri, ia dan kuasa hukum menghubungi pihak aparat yang ikut mengawal aksi dan mendokumentasikan pembuatan spanduk penolakan kegiatan tambang tersebut.
"Untuk PK ini, kami sudah menghubungi mereka yang mengawal dan dia kan punya dokumentasi waktu pembuatan. Itu waktu di persidangan enggak dihadirkan. Itu kita minta aparat yang mendokumentasikan itu dihadirkan untuk dimintai keterangan tapi hakim menolak waktu itu," ujar Heri.
"Foto yang dihadirkan di persidangan kan cuma foto, jadi spanduk itu sampai sekarang enggak ada, jadi JPU (jaksa penuntut umum) enggak bisa menghadirkan spanduk yang disebutkan itu," lanjut dia.
Heri juga mengaku heran ketika dirinya disebut menyebarkan paham komunisme dan menduga proses hukum terhadapnya rawan rekayasa.
"Dituduh menyebarkan (komunisme), menyebarkan bagaimana? Tahu juga enggak. Jadi dari proses awal janggal semua. Banyak upaya rekayasa supaya saya bisa diperkara," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/14/17403341/para-pengajar-ham-sesalkan-hukuman-aktivis-lingkungan-heri-budiawan