"Pasal 7 Ayat (1) terbukti diskriminatif yang membedakan batas usia perkawinan berdasarkan jenis kelamin. Namun, tentu saja kami menyesalkan kenapa situasi yang jelas secara diskriminatif, tapi dibiarkan lama menunggu selama tiga tahun," kata Anggara dalam jumpa pers di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Sebelumnya, pasal dalam UU Perkawinan tersebut digugat sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil karena perbedaan batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
UU tersebut dinilai menimbulkan diskriminasi dan melanggar UU Perlindungan Anak karena banyaknya perempuan yang terpaksa menikah saat menginjak usia di bawah usia 16.
Bagi Anggara, tenggat waktu tiga tahun tersebut membuat anak-anak di seluruh Indonesia akan mengalami ketidakpastian hukum dan keadilan.
"Kami desak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi ketentuan Pasal 7 Ayat (1) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan menjamin keadilan bagi anak-anak Indonesia," paparnya.
Lebih jauh, seperti diungkapkan Anggara, sejatinya DPR bisa cepat dalam mengubah ketentuan dalam pasal tersebut. Sebab, hanya satu pasal saja yang butuh diubah.
"Jadi itu tidak perlu menunggu waktu lama. Namun, praktik yang terjadi dalam legislasi yang biasa kita lihat itu sangat lama. Tentu ini jadi PR kita semua mendesak pemerintah," paparnya.
Sementara itu, Koalisi Perempuan Indonesia Lia Anggiasih mengapresiasi putusan MK yang menyetujui bahwa maraknya perkawinan di bawah umur saat ini sudah dinilai darurat.
"Kita harus apresiasi dulu meskipun putusan MK tidak sesuai yang kita harapkan. Sebab, selama tiga tahun ke depan nasib anak-anak perempuan akan terkatung-katung. Pasti prosesnya sangat panjang, padahal awalnya kita berharap MK mampu mempersingkat waktu," kata Lia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/13/20594931/kuasa-hukum-pemohon-sesalkan-batas-waktu-tiga-tahun-perubahan-uu-perkawinan