"Mereka tidak punya kader, mereka berpartai tapi tidak membangun kaderisasi," tutur Roy saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/10/2018).
Menurut dia, dengan kaderisasi yang baik, parpol seharusnya tak mengeluarkan uang untuk biaya saksi yang mengawasi proses pemungutan suara.
Oleh sebab itu, ia menilai, parpol gagal mengedukasi kadernya untuk menjalankan tugas-tugas menuju Pemilu 2019, termasuk menjadi saksi.
"Ini kan sebenarnya isu usang yang diangkat kembali, artinya parpol sebetulnya tidak punya cara untuk membangun kaderisasi yang mana mereka menjalankan kerja-kerja parpol dalam kontestasi pemilu," jelas dia.
Roy menambahkan, parpol juga terlihat gagal mendidik kadernya untuk melakukan tugas berdasarkan kesetiaan terhadap partai.
"Namanya kader kan loyalitasnya, tidak berbasis proyek. Dana saksi ini terkesannya berbasis proyek, orang direkrut untuk menjadi saksi, untuk dibayar, dia tidak mengabdi kepada partai, dia mengabdi kepada uang," terang Roy.
Padahal, negara telah menaikkan dana bantuan parpol di tingkat nasional menjadi Rp 1.000 per suara.
Ia pun mempertanyakan ke mana larinya uang tersebut jika parpol masih gagal melakukan kaderisasi. Oleh sebab itu, ia mendorong agar usulan ini ditolak.
Sebelumnya, Komisi II DPR RI mengusulkan dana saksi Pemilu 2019 ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan bukan dibebankan ke partai politik.
Usulan tersebut muncul lantaran Komisi II menilai tidak semua partai politik peserta Pemilu punya dana yang cukup untuk membiayai saksi.
"Saksi ini penting, jangan sampai partai karena nggak mampu, sehingga enggak ada saksinya. Maka kami, Komisi II sampaikan, harus pemerintah membiayai ini sehingga semua partai punya semua saksi," ujar Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/17/15115291/parpol-masih-minta-dana-saksi-dibiayai-apbn-kaderisasi-dinilai-gagal