"Hakim akan menilai, memenuhi syarat atau tidak. Takutnya nanti semua orang bilang jadi justice collaborator bagaimana?" Kata Hatta saat ditemui di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa (9/10/2018).
Menurut Hatta, penilaian hakim nantinya bisa saja sama dengan penetapan penegak hukum. Tetapi, tidak menutup kemungkinan hakim akan berbeda pendapat.
Misalnya, hakim menilai terdakwa adalah pelaku utama dalam tindak pidana yang dilakukan, sehingga tidak memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Sebelumnya, status justice collaborator menjadi polemik antara Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah terdakwa yang ditetapkan sebagai justice collaborator oleh KPK justru diperberat hukumannya oleh hakim pada tingkat banding maupun kasasi.
Salah satunya adalah terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Pada pengadilan tingkat pertama 21 Desember 2017, Andi divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dolar AS dan Rp 1,186 miliar.
Andi divonis ringan karena mendapat predikat sebagai justice collaborator. Kesaksian Andi dinilai signifikan membantu KPK dalam mengungkap pelaku lainnya yang lebih besar.
Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta pada 28 Maret 2018, memvonis Andi selama 11 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta wajib membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dolar AS dan Rp 1,186 miliar subsider 3 tahun kurungan.
Jaksa KPK yang keberatan dengan putusan itu mengajukan kasasi ke MA. Namun, bukannya diringankan, hukuman Andi justru diperberat menjadi 13 tahun penjara.
Perbedaan pandangan antara KPK dan hakim tersebut dikhawatirkan akan membuat para tersangka dan terdakwa enggan bekerja sama untuk mengungkap suatu perkara korupsi.
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/09/14135321/ini-kata-ketua-ma-soal-polemik-justice-collaborator