Pada Senin (12/9/2018) kemarin, Farhat mengunggah foto dirinya yang ditambahi tulisan: Pak Jokowi adalah Presiden yang menuntun Indonesia masuk surga.
Foto itu diberikan keterangan:
"Yang Pilih Pak Jokowi Masuk Surga ! Yang Gak Pilih Pak Jokowi dan Yang Menghina, Fitnah & Nyinyirin Pak Jokowi ! Bakal Masuk Neraka ! ( jubir-Indonesia)".
Muhaimin pun mengaku enggan untuk membahas terkait persoalan tersebut.
"Jangan bahas orang. Enggak jelas. Enggak jelas, enggak jelas," ujar politisi yang akrab disapa Cak Imin itu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Secara terpisah, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding mengaku sudah menegur Farhat Abbas terkait unggahan tersebut.
Karding mengakui pernyataan Farhat tersebut tidak tepat dan bisa menjadi blunder.
"Itu tidak baik. Itu bisa merugikan Pak Farhat sendiri, merugikan partai, merugikan paslon. Sudah, sudah saya tegur," kata Karding di Sekretariat TKN Jokowi-Ma'ruf, di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Begitu mengetahui unggahan itu, Karding mengaku langsung menghubungi Farhat lewat WhatsApp. Ia meminta Farhat tak lagi membuat pernyataan kontroversial.
"Ya saya bilang, jangan membuat statementyang bisa dimaknai orang maupun dipahami orang itu menghina, membully kelompok lain," kata dia.
Sementara itu, Farhat Abbas mengaku telah meminta maaf.
"Ya sudah kalau keberatan akhirnya saya tinggal minta maaf saja," kata Farhat saat dihubungi, Rabu (12/9/2018).
Permintaan maaf juga sudah disampaikan Farhat di akun instagramnya. Farhat mengatakan, sebenarnya ia menulis pantun itu karena merasa Jokowi sebagai presiden tak hanya membangun jembatan untuk infrastruktur.
Namun, menurut dia, Jokowi membangun jembatan ke surga lewat kebijakan revolusi mental.
"Jadi orang-orang yang belum mengerti itu ilmunya belum sampai. Pantun itu berbalas pantun. Kata berbalas kata," kata Farhat.
"Enggak ada yang salah. Kalau saya ditegur karena takut terganggu, ya saya minta maaf," tambah dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/12/22283531/farhat-abbas-ditegur-tkn-jokowi-maruf-ini-kata-muhaimin-iskandar