Saat itu, 19 tahun silam, sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) RI Wiranto ikut bergelut untuk menangani salah satu konflik besar pasca reformasi tersebut.
Pengalamannya itu ia sampaikan saat berbicara dalam acara Sarasehan Nasional: Belajar dari Resolusi Konflik dan Damai Maluku di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Wiranto tak menyangka konflik akan pecah di Maluku. Sebab, secara historis, masyarakat Maluku dikenal hidup damai saling berdampingan meski ada perbedaan suku atau agama sekalipun.
"Leluhurnya sudah menancapkan semangat kerjasama, gotong royong, semangat bersama-sama, tak pernah pecah," kata dia.
Misalnya, kebiasaan umat Nasrani membantu mengecat dan merawat masjid. Begitu pula dengan umat Islam yang juga ikut merawat atau menjaga gereja.
Namun, perdamaian dan hidup rukun itu pecah pada 19 Januari 1999. Penyulutnya yakni pertikaian antar pemuda yang melebar hingga menjadi isu-isu yang sensitif agama.
Pada 21 Januari 1999, Wiranto datang ke Ambon dan meminta agar konflik disudahi. Namun, ia sadar himbauan tersebut tak cukup di tengah kondisi yang sudah panas.
Wiranto lantas kembali ke Jakarta dan memutuskan untuk memanggil seluruh perwira menengah dan tinggi ABRI asal Maluku yang bertugas di berbagai daerah.
Ia memerintahkan langsung para perwira menengah dan tinggi ABRI tersebut pulang ke Maluku meredakan situasi dan menyelesaikan konflik.
"Saya katakan 'pulang ke kampung kalian, damaikan mereka saudara-saudara kalian. Jangan pernah kembali ke Jakarta sebelum mereka damai'," kata Wiranto.
Dua bulan pasca perintah itu, Wiranto mendapatkan laporan situasi sudah aman dan konflik sudah selesai. Ia lantas diminta datang ke Ambon untuk memastikan hal itu.
Permintaan itu disambut Wiranto. Ia terbang ke Ambon untuk menghadiri acara simbolis tanda perdamaian di Lapangan Merdeka, Ambon.
Di sana ia diajak makan bersama dan melihat secara langsung masyarakat yang berdoa bersama, bahkan menangis atas peristiwa yang menewaskan banyak korban tersebut.
Namun, dua minggu pasca acara simbolis tanda perdamaian itu, Wiranto mendengar masih ada konflik. Dari sanalah, ia menyadari bara konflik belum padam meski sudah mengecil.
Setelah 3 tahun, konflik tersebut akhirnya benar-benar padam setelah semua pihak berupaya mendamaikan kelompok yang bertikai. Perjanjian Maluku damai pun ditandatangani di Malino pada Februari 2002.
Bagi Wiranto, keterlibatannya dalam upaya menyelesaikan konflik Maluku membuatnya merasa terpaut dengan Masyarakat Maluku. Ia berharap masyarakat di Kepulauan Rempah itu bisa hidup damai selamanya, tanpa konflik.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/10/18542621/cerita-wiranto-tangani-kemelut-konflik-ambon-19-tahun-silam