Salin Artikel

Penggugat "Presidential Threshold" Ajukan Argumentasi Tambahan ke MK

Hal itu untuk memenuhi syarat perbaikan dalam sidang pendahuluan beberapa waktu silam.

"Kami berusaha secepat mungkin memperbaiki permohonan dengan memerhatikan masukan-masukan dari sidang pendahuluan yang telah kami lakukan. Karena kami ingin juga MK melanjutkan proses persidangan ini dengan cepat," ujar salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (6/7/2018).

Menurut Hadar, dasar argumentasi yang diajukan hampir sama dengan permohonan sebelumnya.

Namun, pemohon menambah argumentasi lain yang belum pernah digunakan pada uji materi sebelumnya.

Argumentasi tambahan itu merupakan pasal 6A ayat 3 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945.

Bunyi ayat 3: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara ayat4: Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

"Di dua ayat tersebut sangat jelas pemilihan kita seperti apa, yaitu sistem pemilihan dua putaran. Dimana kalau pasangan presiden dan wakil presiden tidak bisa ditetapkan, maka harus digelar pemilihan putaran kedua," kata Hadar.

Dalam dua ayat tersebut, kata dia, memungkinkan adanya keragaman pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal itu yang dinilainya bertentangan dengan kondisi pemilihan belakangan ini yang hanya diikuti oleh sedikit pasangan.

"Padahal sistem dua putaran kita itu dibuka konstitusi kita untuk banyak menerima banyak pasangan calon yaitu seperti pasal 6A di ayat 1 dan 2-nya, dimana diajukan partai politik baik sendiri atau gabungan peserta pemilu," ujar Hadar.

"Jadi sinkron sekali pengaturan dalam konstitusi kita ini, bahwa yang mengajukan bisa banyak dan sistem pemilihannya dua pemutaran yang membuka luas pasangan calon bisa banyak," lanjutnya.

Ia menilai, jika Pasal 222 UU Pemilu terus dipertahankan, akan menghambat pelaksanaan pemilihan dua putaran. Dengan demikian, Hadar menyimpulkan pasal itu bertentangan dengan konstitusi.

"Kalau kita teruskan Pasal 222 itu akan menghambat dua putaran itu tidak perlu dilaksanakan. Menurut hemat kami ini bertentangan dengan konstitusi. Kira-kira itu tambahan alasannya dan juga batu uji ayatnya," ujar dia.

Hadar optimistis MK bisa memutuskan perkara ini sebelum tahapan pendaftaran capres-cawapres 2019 dimulai. Selain itu, ia juga optimistis MK mengabulkan dan membatalkan pasal 222 tersebut.

"Dengan demikian menjamin dan melindungi hak konstitusional para pemohon dan seluruh rakyat Indonesia agar tidak dirugikan," ujar dia.

Dalam dokumen permohonannya, ada penguatan argumentasi permohonan yang berbeda, yaitu:

1) Pasal 222 UU 7/2017 menambahkan syarat ambang batas pencaionan yang berpotensi menghllangkan potensi lahirnya pasangan capres dan cawapres alternatif, yang sebenamya telah diantislpasi dengan sangat lengkap bahkan melalui sistem pilpres putaran kedua, sehingga pasal a quo bertentangan dengan pasai 63 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;

2) Syarat pengusulan calon presiden oleh parpol sudah sangat lengkap diatur dalam UUD 1945, karenanya seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6 ayat (1), pasal 6 ayat (2), pasal 6a ayat (1), pasal 6a ayat (2), pasal 6a ayat (3), pasal 6a ayat (4), pasal 6a ayat (5), pasal 22a ayat ( 1), pasal 229 ayat (2), pasal 229 ayat (6), dan pasal 28d ayat (1) UUD 1945;

3) Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching karena melanggar pasal 6 ayat (2), pasal 6a ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pasal 22a ayat ( 1) clan (2), serta pasal 28d ayat (1) UUD 1945;

4) Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 22e ayat (1), (2) den (6) UUD 1945;

5) Pasal 222 UU 7/2017 mengatur syarat capres, dan karenanya bertentangan dengan pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara";

6) Pengaturan delegasi syarat capres ke UU ada pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, dan tidak terkait pengusulan oteh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur syarat capres oleh parpol bertentangan dengan pasal 6 ayat (2) UUD 1945;

7) Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden, karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4} UUD 1945;

8) Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non-tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi mahkamah, agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

9) Pengusulan capres dilakukan oleh partai potitik peserta pemilu yang akan berlangsung bukan pemilu anggota DPR sebelumnya, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945;

10) Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemitu DPR sebelumnya adaiah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

https://nasional.kompas.com/read/2018/07/06/19410171/penggugat-presidential-threshold-ajukan-argumentasi-tambahan-ke-mk

Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke