"Putusan MK yang membatalkan ketentuan pada Pasal 73, 122 dan 245 pada UU MD3 adalah putusan yang sangat tepat," ujar Abdul melalui siaran pers, Jumat (29/6/2018).
"Putusan MK ini harus diapresiasi, karena telah memutuskan dengan akal sehat dan sesuai dengan track serta kewenangannya," lanjut dia.
Khusus soal pembatalan Pasal 73 tentang panggil paksa pada UU MD3, menurut Fickar, putusan MK semakin menegaskan pembagian kekuasaan berdasarkan UUD 1945 antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Artinya, semakin jelas bahwa lembaga DPR RI adalah perwakilan politik masyarakat. Sebab, seluruh anggotanya dipilih dari partai politik sehingga seluruh kegiatannya adalah kegiatan politik.
"Bahwa panggil paksa, penyanderaan dan izin presiden, dalam hal tindak pidana, sesungguhnya terminologi dan lembaga yang memiliki wewenang adalah penegak hukum yang juga punya konsekuensi hukum," ujar Fickar.
"Karena itu, ketika DPR mengambil alih dalam Pasal 73 UU MD3, adalah sesuatu yang melawan akal sehat, melebihi kewenangan dan mengacaukan sistem hukum. Yang lebih esensial lagi, pengkhianatan terhadap demokrasi yang berdasar hukum," lanjut dia.
Diberitakan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3. Salah satunya, MK membatalkan kewenangan DPR untuk bisa memanggil paksa seseorang.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Hakim MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa ini semula diatur dalam Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) UU MD3.
Dalam pasal tersebut, DPR berhak melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah. Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian.
Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, kepolisian dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari. MK mengabulkan permohonan pemohon dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi untuk membatalkan ketentuan soal pemanggilan paksa tersebut.
"Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) [...] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Anwar Usman.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa panggilan paksa dan sandera adalah ranah hukum pidana. Sementara proses rapat di DPR bukan bagian dari penegakan hukum pidana.
MK juga menilai kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa bisa menimbulkan kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang. Hal itu juga dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/29/10341161/putusan-mk-soal-uu-md3-dinilai-tepat-dan-sesuai-akal-sehat