Mayong mengemukan hal itu saat menjelaskan surat edaran yang dikeluarkan KPI kepada lembaga penyiaran mengenai aturan pemberitaan dan penyiaran proses persidangan.
“Bagaimana mengantisipasi supaya arah peliputan persidangan terorisme selama ini kan sudah keblabasan,” kata Mayong saat dihubungi, Sabtu (9/6/2018).
Ia juga menyoroti pemberitaan kasus terorisme yang begitu masif di lembaga penyiaran. Mayong mengatakan, ada kode etik tersendiri dalam melakukan penyiaran dalam persidangan.
“Sebab di dalam aturan persidangan tidak memungkinkan sebetulnya pengambilan gambar dan lain-lain, itu harus ada izin ketua majelis,” kata Mayong.
Selain itu, kata dia, banyak stasiun televisi tidak konsisten dalam menyiarkan program breaking news.
Mayong menjelaskan program breaking news seharusnya tak lebih dari semenit untuk menyampaikan informasi penting kepada kepada publik dan diperbarui perkembangannya pada jam-jam berikutnya.
“Pengertian breaking news seperti apa, Dewan Pers juga mempertanyakan mana mungkin breaking news bisa berjam-jam,” kata dia.
KPI, kata Mayong, ingin memperkuat lembaga penyiaran supaya menaati regulasi dan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk menghadirkan tontonan yang berkualitas.
“Saling memperkuat gitu lho, Mahkamah Agung memperkuat aturan itu sudah ada, KPI mengambil sikap ini lho kebebasan pers, tidak bebas serta merta tanpa batas, ada aturannya,” tutur dia.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan Jumat kemarin, KPI mengingatkan kepada lembaga penyiaran untuk pertama menjaga lembaga peradilan dan kelancaran proses persidangan. Kedua, keamanan perangkat persidangan dan saksi. Serta ketiga meminimalisir potensi penyebaran ideologi terorisme dan penokohan teroris.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/09/14485731/kpi-siaran-persidangan-perkara-terorisme-di-pengadilan-kebablasan