Bahkan, ia yakin siapapun yang menjadi presiden dan jaksa agung, tetap akan sulit melangkah ke arah itu.
"Kita harus jujur, siapapun yang memimpin negeri ini, siapapun jaksa agungnya, siapapun Komnas HAM-nya, pasti sulit untuk melanjutkan (perkara pelanggaran HAM berat masa lalu) ke proses hukum atau ke peradilan," ujar Prasetyo saat dijumpai di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Terdapat enam perkara pelanggaran HAM berat yang telah diteliti Kejaksaan Agung. Bahkan, penelitian itu melibatkan Komnas HAM.
Berdasarkan koordinasi itu, lanjut Prasetyo, semua pihak menyadari bahwa hasil penyelidikan terhadap enam perkara pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dilaksanakan sebelumnya bukan bukti otentik.
"Kami konsinyering dengan Komnas HAM di Bogor. Hampir sepekan kami di sana membedah satu per satu, Peristiwa 1965, Penembakan Misterius, penculikan aktivis, Kasus Talang Sari, Tragedi Trisakti. Semua mengatakan, buktinya masih minim," ujar Prasetyo.
"Akhirnya semua menyadari bahwa yang ada itu, hasil penyelidikan itu hanya asumsi, opini saja, bukan bukti. Sementara yang namanya proses hukum itu kan perlu bukti, bukan opini," lanjut dia.
Sementara itu, Kejaksaan Agung berpendapat, tidak mungkin melakukan penyelidikan atas kasus-kasus tersebut saat ini.
Sebab, peristiwa tersebut sudah berlangsung lama. Pihak-pihak yang diduga terlibat di dalamnya banyak yang sudah meninggal dunia.
Oleh sebab itu, pemerintah menawarkan jalan non yudisial bagi penyelesaian sejumlah kasus tersebut.
"Makanya kembali kami pikir yang lebih baik adalah penyelesaian secara non yudisial. Sudah lah, bangsa ini sudah capek dengan kasus-kasus itu. Kalau itu sudah selesai, kan tentunya kita mulai dengan bab baru," ujar dia.
Namun, ia mengakui, ada gerakan masyarakat yang mewakili keluarga korban yang tak setuju terhadap cara non yudisial ini.
Ia berharap mereka melunak agar pemerintah bisa melanjutkan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Ini yang harus dipahami bersama. Bukan kami enggak mau menyelesaikan, bukan," ujar dia.
Peserta aksi Kamisan sebelumnya meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti temuan Komnas HAM terkait sejumlah pelanggaran HAM masa lalu.
Permintaan itu disampaikan saat peserta aksi Kamisan diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/5/2018).
"Kewajiban Jaksa Agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan," kata Maria Catarina Sumarsih, usai pertemuan yang digelar tertutup.
Sumarsih adalah Ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan, korban tragedi Semanggi I.
Menurut Sumarsih, ada sejumlah kasus yang sudah ditangani Komnas HAM, namun tak pernah ditindaklanjuti Jaksa Agung.
Kasus itu seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, penghilangan paksa 13-15 Mei 98, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi 1965.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/01/15172831/jaksa-agung-bukti-minim-siapapun-pemimpin-sulit-bawa-kasus-ham-ke-peradilan
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan