Asisten Ombudsman Koordinator Unit Kerja Penegakan Hukum dan Peradilan Ratna Sari Dewi menjelaskan, Ombudsman telah mengingatkan pentingnya ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai di lapas maupun rutan.
"Dan memang ini juga masih butuh semacam psikolog ataupun dokter kejiwaan. Kalau klinik yang kita lihat belum ada dokter jiwa yang khusus menangani kejiwaan narapidana atau tahanan, walaupun di beberapa tempat ada," kata dia di kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (7/5/2018).
Namun demikian, Ombudsman melihat sebaran klinik kejiwaan ini juga belum merata. Selama ini, Ombudsman hanya melihat urusan psikologis tahanan maupun narapidana hanya melibatkan figur keagamaan sesuai keyakinan masing-masing.
"Kalau menyangkut masalah kejiwaan, mereka (lapas dan rutan) banyak kerjasama dengan lembaga keagamaan, misalnya mendatangkan pendeta, ustaz, melakukan kajian agama dan sebagainya. Itu sudah ada," ujarnya.
Jika tahanan atau narapidana memiliki masalah kejiwaan yang parah, maka yang bersangkutan dirujuk ke rumah sakit setempat.
Ia berharap ada inisiatif dari pihak terkait untuk meningkatkan fasilitas kesehatan fisik dan kejiwaan ini.
"Ini juga bisa menjadi masukan bagi Dirjen Pemasyarakatan nanti. Kita melihat dominannya, masih di keagamaannya yang berusaha untuk mengurus psikologisnya," kata Ratna.
Penyebab Terbesar Kematian
Di sisi lain, Peneliti Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Albert Wirya mengakui bahwa bunuh diri menjadi penyebab kedua terbesar kematian dalam penjara.
Sepanjang tahun 2016-2017, LBH Masyarakat mencatat setidaknya ada 43 kasus bunuh diri selama dua tahun.
"Permasalahan bunuh diri merupakan permasalahan yang kompleks yang harus diiihat dalam banyak aspek, saiah satunya adalah kesehatan jiwa," kata dia.
Sementara itu, faktor penyakit menjadi penyebab utama tingginya angka kematian tahanan di Indonesia. Adapun persentasenya sebesar 47,5 persen di tahun 2016 dan 60,25 persen di tahun 2017.
Jumlah total kematian tahanan di tahun 2016 sebanyak 120 kasus, sementara tahun 2017 sebanyak 83 kasus.
Albert mengungkapkan, penyakit yang diderita oleh mereka juga diperparah dengan kondisi tahanan yang melebihi kapasitasnya.
Di sisi lain, rendahnya sanitasi, kurangnya sirkuiasi udara, dan minimnya asupan nutrisi turut berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan tahanan.
"Kondisi penjara Indonesia yang overcrowded akut menjadi saiah satu akar masalah banyaknya penghuni penjara yang menderita gangguan pernapasan dan gangguan pencenaan sebelum mereka meninggal," ujarnya.
Evaluasi menyeluruh
Albert berharap agar institusi terkait bisa memastikan adanya layanan kesehatan menyeluruh, baik secara fisik maupun kejiwaan.
Albert menilai belum ada mekanisme pengawasan efektif untuk menekan angka kematian tersebut.
Padahal, kata dia, Dirjen PAS dan Polri telah memiliki peraturan-peraturan untuk menjaga hak asasi tahanan atau warga binaan.
Polri perlu menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan dengan maksimal sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Sementara Ditjenpas menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan di rutan dan Iapas di bawah payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,"
Albert menilai, perlu ada evaluasi menyeluruh terkait sistem tahanan di Indonesia untuk mengukur sejauh mana layanan akses kesehatan bisa dijangkau oleh para tahanan baik di dalam maupun luar tahanan.
"Kami mendorong Ombudsman untuk melakukan investigasi independen terhadap kematian yang terjadi di lapas, rutan, dan ruang tahanan Polri," ujarnya.
Dengan demikian, investigasi yang dilakukan oleh Ombudsman nantinya bisa menjadi Iangkah awal perbaikan yang lebih sistematis guna mengurangi kematian di dalam penjara.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/07/13131431/ombudsman-ingin-ada-peningkatan-kualitas-fasilitas-kejiwaan-di-lapas-dan