"(Pembagian sertifikat tanah) Bukan kibul itu enggak ada, sertifikat itu ada," ujar Dewi kepada Kompas.com di Jakarta, Kamis (22/3/2018).
"Tetapi kalau itu dikaitkan dengan reforma agraria itu perlu diluruskan," kata dia.
Dewi menuturkan, perlu ada pelurusan bila pembagian sertifikat tanah itu dikait-kaitkan dengan reforma agraria yang sudah menjadi agenda sejak Indonesia merdeka, namun tak kunjung dieksekusi.
Sebab, menurut Dewi, sertifikasi tanah di dalam reforma agraria ditempatkan di bagian belakang, bukan di bagian depan. Ada tahapan lain sebelum sampai kepada sertifikasi, yakni pendaftaran dan penataan.
Dewi melanjutkan, apabila proses pendaftaran dan penataan tidak dilakukan, maka sertifikasi tanah yang dilakukan justru akan melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah itu sendiri. Petani yang punya tanah kecil, sedang, luas, dan sangat luas sama-sama dapat sertifikat.
Padahal tujuan reforma agraria adalah meniadakan ketimpangan kepemilikan tanah.
Saat ini, tutur Dewi, sertifikat yang kerap dibagikan oleh pemerintah merupakan bagian dari legalisasi tanah. Tanah itu sudah ada, namun belum disertifikasi.
Jadi, bukan redistribusi tanah misalnya dari pelepasan kawasan hutan atau tanah yang Hak Guna Usahanya (HGU) habis.
Pemerintah menargetkan 9 juta hektar tanah disertifikasi hingga 2019. Seluas 0,6 juta hektar tanah merupakan tanah transmigrasi yang belum di sertifikat.
Selebihnya 3,9 juta hektar dati legalisasi aset tanah, 0,4 juta hektar tanah HGU dan terlantar, dan 4,1 juta hektar tanah dari pelepasan kawasan hutan.
Dewi menilai, target pelepasan tanah HGU dan terlantar kepada rakyat masih sangat kecil yaitu hanya 0,4 juta hektar. Padahal tanah HGU yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan hingga pertambangan mencapai 33 juta hektar.
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/22/13203881/kpa-program-pembagian-sertifikat-tanah-bukan-kibul-tetapi