Tak hanya untuk kampanye, lanjut Basaria, biaya tersebut meliputi pembayaran saksi hingga mahar. KPK sudah melakukan kajian untuk mengatasi hal ini.
Misalnya, seharusnya partai politik dalam merekrut anggotanya menerapkan persyaratan khusus. Setelah menjadi anggota partai, harus dilakukan kaderisasi.
"Setelah jadi anggota partai tentunya harus ada kaderisasi termasuk tidak menghalalkan segala macam cara. Jadi partai, dia jadi anggota politik, jangan dimanfaatkan untuk dapat penghasilan dengan cara tidak halal," kata Basaria, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
KPK juga sudah mengunjungi 10 partai politik yang mempunyai kursi di parlemen. Dari pertemuan dengan para partai politik itu KPK menekankan mengenai kode etik partai.
Dalam kajian KPK, subsidi pemerintah untuk dana partai politik juga masih rendah. Saat ini, pemerintah baru menyanggupi Rp 1.200 persuara.
Padahal, kajian KPK menyarankan seharusnya dana untuk parpol sebesar Rp 10.000 persuara. "Kita juga ada saran agar biaya saksi dan kampanye difasilitasi pemerintah, termasuk kampanye," ujar Basaria.
Meski begitu, lanjut Basaria, apapun alasannya politik haruslah bersih. Jika tidak, begitu menjadi kepala daerah, justru berpotensi berperilaku koruptif.
"Karena tidak mungkin pengusaha beri uang pada para calon tanpa ada kompensasi, tidak ada yang gratis," ujar dia.
"Tentu kita enggak bisa kita katakan semua (seperti itu). Walau prediksi kita, bisa saja (semua), tapi kita enggak bisa buktikan. Yang bisa kita katakan yang sudah, pasti yang kita sudah tangkap," ujar dia.
Sepanjang Januari hingga Maret 2018, terdapat sejumlah calon kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, karena mencari modal untuk ongkos politik lewat cara kotor. Berikut daftar yang dirangkum Kompas.com:
1. Cagub Sultra
Kasus terbaru yakni tertangkapnya calon gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun. Selain Asrun, KPK menangkap anak Asrun, Adriatma Dwi Putra, yang merupakan Wali Kota Kendari.
Suap itu terkait proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018. Uang suap tersebut diduga digunakan untuk ongkos politik ayahnya yang mencalonkan sebagai cagub Sultra di Pilkada 2018.
Asrun yang pernah berkuasa 10 tahun sebagai Wali Kota Kendari dua periode sejak 2007-2017 menggunakan mantan Kepala BPKAD Kota Kendari, Fatmawati Faqih, untuk jadi penghubung dengan pihak pemberi suap, dalam hal ini Hasmun.
Sementara Adriatma diduga bekomunikasi dengan Hasmun untuk meminta uang bagi kepentingan biaya politik ayahnya.
2. Cagub NTT
Kasus berikutnya terjadi pada calon gubernur Nusa Tenggara Timur Marianus Sae. KPK menduga, Bupati Ngada itu menerima suap untuk untuk biaya pencalonan sebagai gubernur NTT.
"Apakah ini akan dilakukan untuk biaya kampanye, prediksi dari tim kami kemungkinan besar dia butuh uang untuk itu," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (12/2/2018).
Hal ini baru sebatas dugaan karena KPK belum menemukan aliran dana dari Marianus untuk pihak-pihak yang terkait Pilkada NTT.
Meski begitu, saat operasi tangkap tangan dilakukan, Minggu (11/2/2018), KPK mendapati Marianus sedang bersama dengan Ketua Tim Penguji Psikotes Calon Gubernur NTT Ambrosia Tirta Santi.
Saat itu keduanya tengah bersama di sebuah hotel di Surabaya. KPK belum menemukan apakah Ambrosia diduga memperoleh sesuatu dari Marianus.
Marianus diduga menerima suap dari Wilhelmus terkait sejumlah proyek di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Suap untuk Marianus diduga diberikan Dirut PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu.
Wilhelmus diketahui merupakan salah satu kontraktor di Kabupaten Ngada yang kerap mendapatkan proyek di Kabupaten Ngada sejak 2011. Dalam kasus ini, Marianus diduga menerima suap Rp 4,1 miliar dari Wilhelmus.
3. Cabup Subang
Kasus berikutnya terjadi pada kasus suap Bupati Subang Imas Aryumningsih. Imas, diduga menerima suap untuk ongkos politiknya maju di periode ke dua sebagai Bupati Subang di Pilkada 2018. Imas diduga menerima suap terkait pengurusan perizinan di lingkungan Pemkab Subang.
Imas juga menerima fasilitas terkait pencalonannya tersebut antara lain berupa pemasangan baliho. Tak hanya itu, juga sewa kendaraan berupa mobil Toyota Alphard untuk kebutuhan kampanye.
Suap itu berasal dari pengusaha bernama Miftahhudin. Dia diduga memberi suap untuk mendapatkan izin prinsip untuk membuat pabrik atau tempat usaha di Subang.
Pemberian suap dilakukan melalui orang-orang dekat Imas yang bertindak sebagai pengumpul dana.
Diduga, Bupati dan dua penerima lainnya telah menerima suap yang total nilainya Rp 1,4 miliar.
Adapun, commitment fee antara perantara suap dengan pengusaha sebesar Rp 4,5 miliar. Sementara, commitment fee antara Imas dengan perantara suap sebesar Rp 1,5 miliar.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Imas dan Miftahhudin sebagai tersangka. Dua tersangka lainnya yakni Kabid Perizinan DPM PTSP Pemkab Subang, Asep Santika dan pihak swasta bernama Data.
Imas, Asep dan Data disangkakan sebagai penerima suap dalam kasus ini. Sementara Miftahhudin merupakan pihak pemberi suap.
4. Cabup Jombang
Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko menjadi tersangka dalam kasus suap terkait perizinan pengurusan jabatan di Pemkab Jombang.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarief saat memberikan keterangan pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (4/2/2018).
"Diduga sekitar Rp 50 juta telah digunakan NSW (Nyono) untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Kabupaten Jombang 2018," ujar Laode.
Menurut Laode, uang suap tersebut berasal dari kutipan atau pungutan liar jasa pelayanan kesehatan dan dana kapitasi dari 34 puskesmas di Jombang.
Sementara itu, suap tersebut diberikan Inna agar Nyono selaku bupati menetapkan Inna sebagai kepala dinas kesehatan definitif. Dalam kasus ini, KPK menetapkan keduanya sebagai tersangka.
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/02/09164901/5-calon-kepala-daerah-ini-diduga-terima-suap-untuk-modal-kampanye