Meski demikian, ia melihat aturan tersebut bisa diterapkan jika bertujuan agar sosok tokoh-tokoh tersebut tidak disalahgunakan dan mengakibatkan tercorengnya nama mereka.
"Saya kira bagus-bagus saja ya. Mungkin maksudnya adalah, ini kan nama-nama besar, jangan sampai disalahgunakan dan tercorengnya nama mereka," ujar Fadli Zon saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Menurut Fadli, larangan seperti itu seharusnya tidak perlu diatur di era demokrasi.
Ia juga mengkritik upaya Bawaslu menyusun bahan bacaan atau suplemen pengawasan kepemiluan yang dapat digunakan oleh ulama pada saat mengisi ceramah keagamaan.
Ia memandang hal tersebut berada di luar tugas pokok dan fungsi Bawaslu.
"Dalam era demokrasi masa semuanya harus diatur? Masa mau ceramah di masjid saja diatur. Masa Bawaslu mau mengatur? Padahal itu bukan tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) Bawaslu mau mengatur isi ceramah masjid," tuturnya.
Sebelumnya, KPU RI melarang partai politik memasang gambar tokoh nasional yang bukan pengurus parpol dalam alat peraga kampanyenya.
Misalnya, gambar Presiden pertama RI Soekarno, Presiden kedua RI Soeharto, Presiden ketiga RI Baharuddin Jusuf Habibie, Jenderal Besar Soedirman, dan pendiri Nahdhatul Ulama KH Hasyim Asy'ari.
Berbeda jika tokoh nasional itu seperti Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab, keduanya merupakan pimpinan parpol di Indonesia.
KPU pun menegaskan, semua tokoh nasional yang bukan pengurus dari suatu parpol tak boleh dipasang pada alat peraga kampanye partai.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/27/17563471/fadli-zon-dalam-era-demokrasi-masa-semuanya-harus-diatur-bawaslu