Salin Artikel

Perjalanan Revisi UU MD3 yang Penuh Nuansa Pragmatisme Politik...

Alih-alih memperbaiki kinerja, revisi UU MD3 di periode ini justru dinilai banyak diwarnai kepentingan pragmatis.

Hal itu terlihat pada revisi UU MD3 di awal kerja DPR pada Juli 2014. Undang-undang tersebut direvisi hanya untuk memuluskan langkah oposisi untuk merebut kursi pimpinan DPR.

Revisi berikutnya, pada Desember 2014, dilakukan hanya untuk mengakomodasi partai koalisi pemerintah ke dalam pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD).

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, revisi UU MD3 tak memiliki iktikad memperbaiki tata kelola parlemen yang baik.

(Baca: Pengamat: Revisi UU MD3 Hanya untuk Penuhi Syahwat Politik)

Bahkan, Lucius menilai bahwa revisi UU MD3 dilakukan hanya untuk kepentingan syahwat politik semata.

"Misi pembaharuan undang-undang harus diproyeksikan untuk suatu jangka waktu tertentu ke depannya, bukan justru untuk melayani syahwat partai-partai berkuasa akan kursi dan kursi," kata dia.

Sedangkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan, menilai penambahan tiga kursi pimpinan MPR bertujuan untuk menyolidkan seluruh fraksi di DPR.

(Baca: Yasonna Sebut Penambahan Tiga Pimpinan MPR demi Kondusivitas Politik)

Seperti apa perjalanan revisi UU MD3? Berikut rangkaian revisi UU MD3 pada periode 2014-2019.

1 Revisi UU MD3 jilid I, KMP vs KIH

Revisi Undang-undang MD3 kala itu disahkan pada 8 Juli 2014, sehari menjelang Pemilu Presiden 2014. Prosesnya berlangsung setelah Pemilu Legislatif 2014 selesai, di mana PDI-P keluar sebagai pemenang.

Saat itu, PDI-P selaku pemenang pemilu legislatif tak mendapat kursi pimpinan DPR lantaran kelompok oposisi berhasil mengubah aturan pemilihan pimpinan DPR berdasarkan sistem paket, yang sebelumnya berdasarkan sistem proporsional.

Melalui sistem proporsional, semestinya PDI-P langsung memperoleh kursi ketua DPR. Namun, dengan sistem paket PDI-P harus mengikuti pemilihan kembali di internal DPR.

Saat itu, polarisasi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) selaku kumpulan partai koalisi pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP) masih kuat. Dengan adanya revisi UU MD3 pada Juli 2014 maka tak satu pun perwakilan KIH yang duduk di kursi pimpinan DPR.

Saat itu, KIH masih terdiri dari empat partai yakni PDI-P, PKB, Partai Hanura, dan Partai Nasdem. Sedangkan KMP terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, dan PPP.

Selain mengubah sistem penetapan pimpinan DPR, revisi UU MD3 juga mengubah Pasal 245, di mana pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana tak butuh izin presiden, melainkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Dengan demikian pasal yang direvisi ialah Pasal 84 tentang penetapan pimpinan DPR dan Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana.

2. Revisi UU MD3 jilid II, akomodasi KIH ke pimpinan AKD

Revisi UU MD3 kali ini bernuansa pengakomodasian KIH ke dalam unsur pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) berupa sejumlah komisi dan badan.

Bila dulunya pimpinan komisi dan badan di DPR hanya diisi oleh perwakilan KMP, dengan adanya revisi UU MD3 pada Desember 2014 maka perwakilan KIH mulai mengisi jabatan tersebut.

Revisi tersebut ialah menambah satu kursi pimpinan AKD sehingga perwakilan KIH bisa masuk ke dalamnya. Revisi itu dinilai sebagai akhir konflik dari KIH dan KMP di parlemen.

Selain itu revisi UU MD3 juga mewajibkan semua pihak menjalankan rekomendasi yang diberikan DPR berupa hasil rapat dengar pendapat, rapat kerja, rapat panitia khusus, dan rapat panitia kerja.

Ada delapan pasal UU MD3 yang dilakukan perubahan oleh DPR, yakni Pasal 74 Ayat 3,4, 5 dan 6; Pasal 97 Ayat 2; 98 Ayat 7,8 dan 9; Pasal 104 Ayat 2; Pasal 109 Ayat 2; Pasal 121 Ayat 2; dan Pasal 152 Ayat 2.

Revisi UU MD3 kali ini bernuansa pengakomodasian partai pemenang pemilu legislatif, yakni PDI-P yang tak kunjung mendapat kursi pimpinan DPR dan MPR.

Meski tinggal 1,5 tahun periode ini akan berakhir, PDI-P dan partai lainnya tetap bersikeras memperjuangkan jabatan tersebut.

Alih-alih hanya untuk mengakomodasi PDI-P, revisi UU MD3 ini juga dimanfaatkan partai lain yang menginginkan kursi pimpinan DPR dan MPR.

Karena itu, pembahasannya yang dimulai sejak Setya Novanto masih menjabat Ketua DPR itu pun terus berlarut-larut dan baru selesai pada Kamis (8/2/2018) kemarin.

Pemerintah dan delapan fraksi menyepakati pembahasan revisi UU MD3 soal penambahan kursi pimpinan MPR dan DPR dibawa ke rapat paripurna untuk seera disetujui.

Hal itu mengubah Pasal 84 tentang komposisi pimpinan DPR. Selain kepada PDI-P akan diberikan kepada dua partai lain yang berdasarkan perolehan suara masuk dalam tujuh besar, namun belum mendapat kursi pimpinan MPR yakni Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi PKB.

Sementara itu untuk kursi pimpinan DPR hanya ditambah satu dan diperuntukan untuk PDI-P selaku partai pemilik kursi terbanyak. Nantinya, kesepakatan penambahan satu kursi untuk pimpinan DPR juga akan dibawa ke paripurna untuk disahkan.

Namun, melalui ketentuan peralihan di dalamnya, komposisi pimpinan DPR dan MPR akan kembali menjadi satu ketua dan empat wakil ketua pada periode 2019-2024 dan seterusnya.

(Baca: DPR-Pemerintah Sepakat 2019 Pimpinan DPR dan MPR Kembali 5 Orang)

Selain itu ada pula penambahan satu kursi pimpinan untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Ada pula revisi pada Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana. Pada 2015, ketentuan pemeriksaan atas seizin MKD dibatalkan Mahkamah Konstitusi sehingga kembali atas seizin presiden.

Namun, DPR dalam revisi kali ini menambahkan ketentuan pertimbangan MKD sebelum presiden memberi izin.

Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anggota DPR yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana, terlibat tindak pidana khusus, dan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.

Pasal 73 tentang pemanggilan paksa pihak yang diperiksa DPR pun turut direvisi. Dalam klausul pasal 73 revisi Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) itu, ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas mengatakan, penambahan frase "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil gubernur.

Saat itu gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat. Selain itu, DPR juga melihat polemik Panitia Khusus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirasuah tersebut.

Ia mengatakan nantinya ketentuan itu akan diperkuat dengan ketentuan tambahan berupa Peraturan Kapolri (Perkap). Penambahan frase "wajib" lanjut Supratman merupakan respons atas kegamangan Kapolri saat dimintai Pansus Angket memanggil paksa KPK.

Saat itu, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian merasa hukum acara pemanggilan paksa oleh polisi hanya berlaku bagi proses hukum sedangkan forum rapat dengar pendapat di Pansus Angket merupakan proses politik.

(Baca: Draf RUU MD3, Polisi Wajib Panggil Paksa Pihak yang Diperiksa DPR)

https://nasional.kompas.com/read/2018/02/09/08515531/perjalanan-revisi-uu-md3-yang-penuh-nuansa-pragmatisme-politik

Terkini Lainnya

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke