Salin Artikel

Perempuan Muslim Indonesia dan Tantangan Menjadi Agen Perdamaian...

Potensi perempuan Muslim Indonesia sebagai agen perdamaian, tercermin dari survei Wahid Foundation bekerjasama dengan UN Women sepanjang 6 hingga 27 Oktober 2017.

Survei tersebut melibatkan 1.500 responden yang berdomisili di 34 provinsi di Indonesia.

 

Hasil Survei

Sebanyak 84,9 persen responden perempuan Muslim memilih Pancasila dan Undang-Undang Dasar saat ini karena beranggapan itu yang terbaik bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Hanya sebanyak 4,5 persen responden responden perempuan Muslim yang menyatakan sebaliknya.

Mengenai kebebasan menjalankan ajaran agama juga menunjukan demikian. Jumlah responden perempuan Muslim yang berpendapat bahwa setiap warga negara Indonesia bebas menjalankan agama maupun keyakinannya berjumlah 80,7 persen.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan responden laki-laki Muslim, yakni sebanyak 77,4 persen.

Survei juga menunjukkan potensi perempuan Muslim terlibat dalam praktik radikalisme lebih rendah dibanding laki-laki Muslim.

Sebanyak 80,8 persen responden perempuan Muslim menyatakan tidak bersedia terlibat di dalam praktik radikalisme. Hanya 2,3 persen yang menyatakan bersedia.

Adapun, sebanyak 76,7 persen responden laki-laki Muslim menyatakan tidak bersedia dalam praktik radikalisme dan sebanyak 5,2 persen lainnya menyatakan bersedia.

Positifnya, jumlah total responden yang menyatakan tidak bersedia terlibat dalam praktik radikalisme cenderung meningkat dari tahun 2016 dan 2017.

Direktur Eksekutif Wahid Foundation Zannuba Arrifah Chafsoh Rahman Wahid atau yang akrab disapa Yenny Wahid mengatakan, data-data di survei menunjukkan betapa perempuan seharusnya tidak lagi dipandang sebagai korban.

Sebaliknya, justru pada perempuanlah nilai-nilai perdamaian dan toleransi bisa disebarkan.

"Dalam analisisnya, survei ini sebenarnya menunjukkan bagaimana peran perempuan Muslim di Indonesia dalam membangun nilai-nilai toleransi dan perdamaian," ujar Yenny.

Direktur Women Development Center sekaligus dosen Unsyiah Aceh Suraiya Kamaruzzaman berpendapat senada.

Berdasarkan pengalaman menangani sejumlah konflik di Indonesia, perempuan secara kasat mata melakukan upaya rekonsiliasi sosial.

"Saya bisa contohkan salah satunya di Poso. Bagiamana proses dialog antara Muslim dengan Kristen dimulai oleh inisiasi perempuan di pasar. Di Aceh, Papua, Timor Leste juga demikian. Perempuan menjadi inisiator dalam mendorong perdamaian," ujar Suraiya.

Tantangan Bagi Perempuan

Namun survei juga menunjukkan fakta tantangan perempuan Muslim dalam hal menggali potensinya. Tingkat otonom perempuan Muslim Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Rata-rata skor tingkat otonom laki-laki Muslim sebesar 77,7 persen. Adapun skor tingkat otonom perempuan Muslim hanya 62,3 persen.

Terkungkungnya para perempuan Muslim Indonesia dalam hal otonominya membuat potensinya sebagai penyebar nilai-nilai perdamaian terhambat.

Perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam membuat keputusan, baik dalam keluarga bahkan di lingkungan yang lebih formal lainnya.

Suraiya berpendapat, setidaknya ada lima hal yang menyebabkan demikian. Pertama, masih melekatnya budaya patrilinear di Indonesia.

Kedua, tafsir agama. Ketiga, hukum yang belum berorientasi pada pemenuhan hak perempuan. Keempat, tingginya angka pernikahan perempuan di usia anak-anak.

"Itu semua harus diputus, tidak ada cara lain selain membangun kapasitas si perempuannya dengan pendidikan informal," ujar Suraiya.

https://nasional.kompas.com/read/2018/01/30/12590711/perempuan-muslim-indonesia-dan-tantangan-menjadi-agen-perdamaian

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke