SATU persamaan yang dipunyai oleh generasi milenial (lahir 1980-2000) dan generasi Z (lahir 2000-2014), adalah sifat digital native.
Frasa digital native dipopulerkan oleh MacPrensky, seorang penulis dan motivator pendidikan asal Amerika Serikat. Digital native merupakan kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah mengenal internet.
Bisa dikatakan, baik milenial atau generasi Z, terpapar internet di usia yang muda hingga sangat muda. Pergerakan media sosial sendiri dimulai pada saat generasi milenial tumbuh remaja.
Paul Martin dan Thomas Erickson dalam Social Media Usage and Impact menuliskan pergerakan sosial media pada digital native mulai dari Friendster (2002), Couchsurfing dan Myspace (2003), Youtube dan Yahoo (2005), Facebook dan Twitter (2006).
Jumlah media sosial tersebut terus meningkat dan bervariasi jenisnya. Konsekuensinya, generasi Milenial dan Z mempunyai interaksi yang sangat intens dengan media sosial.
Terlepas dari cara, fungsi, dan efek dari penggunaan media sosial, para generasi Z dan milenial lah yang menjadi saksi dari perjalanan perkembangan media sosial yang sangat dinamis beberapa tahun terakhir.
Sayangnya yang terjadi, tidak semua bagian dari generasi milenial dan Z yang menganggap dirinya sebagai generasi diatas rata-rata (above average) tersebut bisa memfilter siapa dan apa saja konten yang layak untuk dibagikan.
Media sosial dan peluru propaganda
Pakar komunikasi dari Yale University Amerika Serikat, Harold D Lasswell dalam Propaganda Technique in the World War memperkenalkan magic bullet theory atau teori peluru.
Teori ini mengasumsikan media (sebagai pistol) yang menembakkan informasi pada pikiran masyarakat, dan masyarakat yang menjadi komunikan (penerima pesan) menerima pesan tersebut tanpa ada keraguan.
Magic bullet theory tidak akan hanya menjadi sekadar teori bila masyarakat menerima dan menelan mentah-mentah pesan yang merupakan asumsi, atau tidak berdasar pada riset ilmiah.
Nah, pesan dalam konteks ini adalah konten yang kita konsumsi dalam media sosial. Sebagai salah satu bentuk dari media baru, kita tidak bisa menepis pengaruh media sosial yang dewasa ini menjadi alat propaganda kepentingan kelompok.
Lasswell berpendapat bahwa faktor depresi ekonomi dan konflik politik yang menyebabkan kebanyakan orang rentan terhadap bentuk propaganda yang kasar sekalipun.
Serangan propaganda bertubi-tubi mengakibatkan masyarakat mudah beralih dari memikirkan beban hidup menuju propaganda tersebut.
Dalam konteks media sosial juga, propaganda bisa dilebur dalam hate speech atau ujaran kebencian yang seringkali dipahami secara tekstual oleh konsumen media sosial. Akibatnya, penyebaran informasi menjadi chaos.
Meski pelarangan ujaran kebencian telah tertera dalam perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, namun sifatnya telah diubah dari delik umum menjadi sebatas delik aduan.
Pada delik aduan, pelaku ujaran kebencian hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang merasa menjadi korban dari penyebaran informasi tersebut.
Media sosial dan industri kreatif
Di sisi lain, media sosial tidak hanya menjadi media propaganda kelompok yang punya kepentingan sendiri. Media sosial juga menjadi penghubung milenial dan generasi Z dalam melakoni industri kreatif.
Dalam The Rise of Creative Class (Richard Florida, 2012), jumlah pekerja di industri kreatif mengalami peningkatan secara signifikan sejak 1980.
Berbeda dengan sektor agrikultur dan kelas pekerja yang terus merosot. Prediksi tersebut sejalan dengan yang terjadi di Indonesia, di mana sektor industri kreatif terus tumbuh.
Mengutip pernyataan Presiden Jokowi di Kompas.com (26 April 2017), industri kerajinan, industri kreatif di Indonesia telah tumbuh dengan sangat cepatnya, tumbuh dengan menakjubkan. Bahkan, total nilai ekspor produk industri kerajinan dan industri kreatif mencapai Rp 852 triliun.
Dalam konteks milenial dan generasi Z, media sosial menjadi media utama dalam mempromosikan industri kreatif.
Ajang publikasi sektor industri kreatif tidak bisa dipisahkan dari media sosial. Keduanya berjalan beriringan. Bahkan dalam publikasi antar negara, milenial dan generasi Z menjadi pemain handal dalam hal ini.
Saat ini, pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif berbasis digital.
Hal itu ditunjukkan dengan menempatkan industri infrastruktur digital sebagai salah satu subsektor prioritas Bekraf. Di samping itu, Bekraf menggenjot akses permodalan bagi pelaku usaha industri kreatif di Tanah Air.
Didukung pula dengan berbagai program pelatihan wirausaha dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI). Langkah yang ditempuh tersebut sangat relevan mengingat semakin berkembangnya bisnis start up di Indonesia.
Maka, bukan tidak mungkin industri kreatif bakal menjadi tumpuan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Oleh karena itu, baik milenial atau generasi Z, yang menjadi pelaku utama media sosial, bisa lebih memahami dan menyadari kekuatan media sosial ada pada bagaimana cara kita memegang kendali.
Apa yang bisa mulai kita lakukan dari sekarang?
Kita harus lebih fokus terhadap bagaimana menggunakan media sosial sebagai dukungan terhadap pertumbuhan industri kreatif, atau paling tidak dengan tidak ikut-ikutan menjadi konsumen konten propaganda dalan media sosial yang hanya membuang energi.
Dinda Lisna Amilia
MA Candidate on Mass Communication and Journalism
University of Mysore, India.
PPI India
Fikri Angga Reksa
MSc Candidate on Geography of Environmental Risks and Human Security
United Nation University (UNU-EHS) and The University of Bonn, Jerman.
PPI Jerman (ppidunia.org)
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/06/08354401/penggunaan-medsos-peluru-propaganda-atau-industri-kreatif